Software Penghasil Uang

Minggu, 01 November 2009

BABAD KAYU SELEM

Om Awighnam Astu Namo Siwa Buddhayah

Bhatara Hyang Pasupati amat prihatin melihat pulau Bali yang selalu saling terantuk dengan Selaparang (Lombok).Oleh karena itu untuk menghindari hal tersebut Bhatara Hyang Paçupati dengan segala kekuatannya membongkar sebahagian gunung Mahameru di Jambudwipa untuk dipindahkan ke pulau Bali dan Selaparang sebagai penindih agar kedua pulau ini tidak mudah dihanyutkan serta terantuk oleh gelombang. Perpindahan gunung ini menyebabkan di Bali kita mengenal gunung Lokapala yaitu gunung Lempuyang , gunung Andakaça, gunung Watukau, gunung Beratan, gunung Mangu dan gunung Tulukbiyu. Setelah nusa Bali tenang dan tidak diombang ambingkan oleh gelombang, Bhatara Jagat Karana mengutuskan Bhatara Hyang Tiga yaitu, Bhatara Mahadewa, Bhatari Danuh serta Bhatara Ghnijaya turun ke Bali sebab pada saat itu pulau Bali .amat sunyi keadaannya. Berkat kesaktian beliau akhirnya Bhatara Hyang Tiga tiba dengan selamat dinusa Bali. Bhatari Danuh ditugaskan, bersemayam (aparhyangan) di Ulun Danu,.Bhatara Hyang Ghnijaya bersemayam di gunung Lempuyang sedangkan Bhatara Putrajaya bersemayam di Besakih.

Dijelaskan rula pada waktu Bhatara Putrajaya türun ke Bali beliau diiringi oleh Bhatarà lainnya antara lain Bhatarà Tumuwuh yang selanjutnya bersemayam di gunung Watukaru, Bhatara Manik Kumayang yang bersemayam di gunung Beratan, Bhatara Hyang Manik Galang bersemayam di Pejeng $erta Bhatara Tugu bersemayam di gunung Andakaça
Bhatara Hyang Ghnijaya dan Bhatara Hyang Mahadewa tidak henti-hentinya melakukan yoga semadi demi ketentraman serta kesejahteraan pulau Bali. Berkat ke mahiran beliau beryoga dari semadi Bhatará Hyang Ghni jaya lahirlah anak laki—laki yang cakap dan sempurna yang pada waktu lahirnya’ semuanya beralaskan daun pisang kaikik. Adapun putra—putra beliau adalah Sang Brahmandá Pandita, Mpu Mahameru, Mpu Gana,Mpu Kuturan, dan Mpu Pradhah. Kemudian atas kehendak beliau mereka berlima diperintahkan ke Jambudwipa untuk memperdalam kesidhi ajnanan mereka masing—masing Ketika yoga mereka teláh masak Sang Brahmanda Pandita menikah dengan Bhatani Manik Gni, Putri Bhatara Hyang Mahadewa di Tolangkir dan berganti nama menjadi Mpu Ghnijaya.
Dan pernikahan beliau menurunkan Mpu Ktek, Mpu Kananda, Mpu Wirajnana, Mpu Withadharma, Mpu Ragarunting, Mpu Preteka, Mpu Dangka yang kemudian dikenal dengap Pasek Sanak Pitu. Setelah beberapa lamanya dengan diiringi kedua adiknya yaitu Mpu Gana dan Mpu Kuturan. beliau menaiki daun kapu—kapu yang berlayarkan daun tehep kembali ke nusa Bali. Setibanya di Bali (di Silayukti) beliau langsung ke Besakih menghadap Bhetara Putra Jaya serta Ayahandanya Bhetara Ghnijaya di Gunung Lempuyang, serta Selanjutnya Mereka silih berganti ke Jawa dan ke Bali.

Pada waktu itu diceritakan pula Pulau Bali amat tenangnya, namun para Bhetara yang bersemayam di Bali masih merasakan adanya kekurangan sebab walaupun telah banyak dibangun tempat-tempat suci ( Khayangan ), Bali masih amat lengang karena tidak ada manusia hidup di Bali yang menyungsung dan menghormati para Bhetara. Itulah sebabnya Bhetara Ghnijaya dan Bhetara Catur Purusha sepakat menghadap Bhetara Hyang Pasupati ke Jambu Dwipa untuk mengutarakan maksudnya. Oleh Bhetara Hyang Pasupati maksud diatas dipenuhi dan untuk ini Beliau disarankan menunggu di Besakih saja. Bhetara Hyang Pasupati ( Pramesti Guru ) dengan diiringi oleh para Dewata semua, Rsi Gana, Dewa Sanga serta seluruh yang ada di Sorga beramai-ramai turun ke Bali. Dalam perjalanan Beliau Bhatara Parameswara ( pasupati ) mengendarai Padma Manik Anglayang diapit Payung serta umbul-umbul. Sedangkan para Dewata lainnya mengndarai Wahana mereka masing-masing. Bergema suara gentanya serta bergemuruh suara diangkasa diiringi Keplug dan sebagainya. Setibanya di Tolangkir beliau dsambut oleh Bhetara Putra Jaya, Betara Ghnijaya serta Bhetara Catur Purusha sesuai dengan Penyambutan dan penghormatan yang berlaku lalu langsung menuju Tampurhyang. Kemudian Bhetara Pramestiguru bersabda : : “anakku Deata Semua sekarang siapkanlah segala keperluan agar segera tercipta Manusia yang kalian kehendaki, Kamu Hyang Iswara hendaknya menyusup di Otot, Hyang Mahadewa di Sumsum, Hyang Wisnu di Daging dan kamu Sangkara serta Rudra pada Pabwahan ( Ginjal )”.

Ketika semua telah siap menghadap Perasapan (Kundagni), tiba tiba datanglah Bhetara Yamadipati berwujud seekor anjing hitam hendak menghalangi maksud Bhetara Pramesti guru yang dengan angkuhnya Anjing Jelamaan Bhetara Yamadipati berkata : “Hai Paduka Bhetara Pramesti Guru sekarang Paduka hendak menciptakan manusia dari tanah, Mustahil maksud tersebut akan terlaksana, Andaikata benar tercipta manusia, hamba sanggup makan kotorannya, Mendengar ucapan ini dengan murkanya lalu Bhatara Pramesti Guru menjawab : “Hai Yamadipati yang angkuh apa katamu ? Besar amat kesanggupanmu terhadapku, Yah andaikata maksudku tidak terlaksana, aku bukanlah dewa dan seluruh dewa—dewa, Patutlah diriku ditenggelamkan ke dalam kotoran”. Bhatara Pramesti Guru kemudian beryoga.. Api perasapan berkobar, asapnya keluar lalu terwujudlah muka manusia, Tetapi tiba—tiba penjelmaan manusia itu patah, diiringi dengan suara gonggongan sang anjing .... kong kong kong karena kegirangan. Bhatara mengulangi yoganya, Untuk kedua kalinya manusia ciptaan beliau patah, Sang anjing amat bergembiranya serta menggong—gong suaranya kong kong kong, Bhatara tidak putus asa dan mengulangi yoganya, Untuk ketiga kalinya Bhatara Pramesti Guru gagal menciptakan manusia, disertai gonggongan sang anjing king... King... Sampai lima kali Bhatara beryoga selalu mengalami kegagalan, Akhirnya beliau merasa berang dikalahkan dan diejek o1eh anjing. Dengan segala kesaktiannya beliau menyatukan tiga dunia (Triloka). Api perasapan kembali berkobar, dunia bergoncang, keluarlah amerta disertai terjelmanya manusia ciptaannya. Ketika itu tercenganglah sang anjing terkejut menyaksikan manu sia ciptaan Bhatara. Bhatara Hyang Pramesti Guru : “Sekarang kalahlah kamu, hai anjing. Ingat mulai sekarang anjing harus memakan kotoran manusia”. Amatlah malunya Bhatara Yamadipati mendengar kutukan tersebut dan tanpa memberikan jawaban, menangis serta menyesal atas perbuatannya lalu pergi ke Yamadiloka. Di Yamadiloka ia mengumpulkan seluruh cikrabala terutama si Bhuta Kalika serta pàra Kingkara bala Lainnya dan berkata :“Hai para balaku semua aku perintahkan kamu agar turun ke madyaloka untuk menggantikan diriku memakan kotoran manusia mulai sekarang sampai seterusnya sebab aku kalah hertaruh dengan Bhatara Acintya, Itulah sebabnya aku memerintahkan kepadamu menggantikan diriku menjadi anjing di madyaloka”. Tetapi petuahku kepadamu, kelak apabila sudah saatnya manusia itu mati, disanalah kita bersama-sama menyiksa roh manusia yang berlaksana tidak pantas selama hidupnya di madyaloka. Itulah asal mula nya mengapa anjing memakan kotoran manusia.
Selama Bhatara Hyang Pramesti Guru di Tampurhyang beliau juga menciptakan manusia dari serabut ( toktokan) kelapa gading sehingga terjelma dua orang manusia laki perempuan yaitu Ki Ketok Pita dan I Jenar. Oleb karena keduanya buncing ,mereka dikawinkan dan menurunkan keturunannya.

Tidak hanya sampai di sini saja,Bhatara Pramesti Guru dengan yoga semadinya berusaha menciptakan manusia lainnya. Dan payogan beliau ini lahirlah dua orang manusia 1aki perempuan pula yaitu Ki Abang dan I Barak. Keduanya bersuami istri dan pindah, menetap di tepi danau yang sekarang disebut desa Abang. Ciptaan manusia yang berasal dari sumber yang berbeda beda ini melahirkan keturunannya dan menambah banyaknya manusia di Bali, namun biji mata mereka semuanya hitam tanpa ada putihnya. Mengingat makin banyaknya manusia diBali tetapi masih awam dan tidak dapat melakukan pekerjaan se patutnya, Bhatara Hyang Pramesti Guru mengutus para dewä lainnya untuk mengajarkan manusia membuat alat alat dan bercocok tanam. Hutan di Tampurhyang dibakar dan ditebang dijadikan ladang agar dapat ditanami oleh manusia. Bhatara Indra diutus mengajarkan manusia mesesanggingan (ukir mengukir). Bhagawan Wismakarma mengajar ngundaginin (membuat bangunan) dan sebagainya.

Hubungan para Bhatara dengan manusia sangat eratnya. Mereka dapat bercakap dan saling melihat Sebagaimana kita melihat teman lainnya. Namun hubungan ini tidaklah terlaksana abadi sebab suatu godaan tiba tiba muncul saat itu. Diceriterakan bahwa sebagaimana biasanya para Bhatara sering berjalan jalan di Tampurhyang melihat dan mengawasi orang—orang desa dalam melaksanakan kewajibannya. Tidak jarang pula mereka be cakap—cakap dengan intimnya membicarakan situasi disekitarnya. Pada suatu senja Bhatara berkehendak pulaberjalan—jalan melihat tanam—tanaman yang dikerjakan manusia. Ditengah jalan beiiau bertemu dengan manusia. Manusia itu menyapa dengan hormatnya sambil buang air dan menanyakan hendak kemana paduka Bhatara di sore hari. Kebetulan pada waktu itu si Balwan (Bunglon ) melihat peristiwa ini. Dengan marah dan angkuhnya si Balwan berkata : “Hai kamu manusia, sungguh kamu tidak senonoh, amat durhakamu, Benar—benar kamu tidak mengenal budi pekerti, Dimana kamu menemukan aturan yang menjelaskan bahwa kamu boleh menyapa Bhatara sambil buang air ? Pantaslah kamu manusia herasal dari tanah dikepal kepal”, Manusia itupun menjawab : “Ih kamu Balwan apa katamu ? mengungkap_ ungkap asal usulku, benar—benar kamu tidak tahu adat (nirgama), berpura—pura akhli dan taat kepada tata susila, Pantaslah asal usulmu kumatap—kumitip yang diselimuti oleh kotoran, Dasar kamu ini, berpura—ura alim, mengapa kamu keberatan sedangkan Bhatara sendiri tidak merasa tersinggung”. Si Balwanpun menjawab : “Hai kamu manusia yang dungu, moga—moga kamu menjadi hina dina, Semoga kamu menjadi orang dusun untuk seterusnya atas dosamu menyapa dewa, Amatlah dengkinya si Balwan seraya berkata kepada Bhatara dan mengasutnya, Bhatara lalu memanggil seluruh manusia yang ada dan setelah berada dihadapannya, mereka dipérintahkan mendelikkan matanya sambil memandang Bhatara. Mata mereka dicoret dengan kapur disertai kutukan : “Semoga hai kamu manusia, karena kamu bertindak yang tidak pantas kepadaku muiai saat ini kau tidak akan dapat melihat para dewata sampai seterusnya, atas dosamu menyapaku sambil buang air, Sapaku ini berlaku pula kepada keturunanmu, seandainya engkau ingin bertemu denganku, pada saat kematianmulah akan dapat meiihatku”. Demikianlah sapa Bhatara kepada manusia. Mereka menyembah kehadapan Hyang Bhatara yang tak henti—hentinya menyesali perbuatannya. Itulah sebabnya mengapa manusia di dunia tidak dapat melihat para dewata lagi.
Diceriterakan bahwa ketika mereka kembali ke gubuknya di tengah jalan mereka bertemu dengan si Balwan, Terjadilah perdebatan antara si Balwan dengan manusia, Mereka berseru : “Berbahagialah aku bertemu denganmu di sini, Sekarang aku akan menyampaikan kepadamu bahwa mulai saat ini sampai seterusnya aku akan menjadi musuhmu dan setiap keturunanku bertemu dengan keturunanmu mereka akan membunuh keturunanmu, Si Balwan lalu menjawab : “Hai manusia aku tidak akan menolak permintaanmu, Baiklah kalau demikian, tetapi ada permintaanku kepadamu yaitu apabila keturunanku bertemu dengan keturunananmu pada waktu kajeng kliwon, keturunanku akan membunuh keturunanmu dengan menjilat badan serta mata kakinya” Baiklah kalau demikian mulai sekarang beritahukanlah seluruh keturunanmu agar mereka tetap waspada terhadap perjanjian ini, Itulah sebabnya si Balwan dapat merubah diri sesuai dengan keadaan disekitarnya lebih—lebih apabila berada di daun kayu.

Pada salah satu bagian babad ini dijelaskan pula asal mula timbulnya pungkusan keturunan Tewel yang diuraikan sebagai penuturan di bawah ini. Seperti halnya para dewa—dewa lainnya Bhatara çiwa diutus oleh Bhatara Hyang Pramesti Guru untuk menuntun dan memberikan pelajaran kepada orang—orang yang ada di Bali, membuat bale papayon agar dapat ditiru ôleh orang—orang Baliaga. Dalam perjalanannya beliau menjumpai tuwed nangka sisa—sisa hutan yang terbakar waktu membuat lading, Melihat tuwed nangka ini lalu terbitlah keinginan beliau untuk memperbaik i dan memperhaluskannya sehingga berbentuk manusia, Bhatara çiwa dengan dibantu oleh Hyang Semara, beryoga dan menjelmakan manusia laki perempuan Sejumlah 1l9 orang. Mereka berpasang—pasangan dan menikah dengan saudaranya, Karena jumlah 119 salah seorang wanita diantaranya tidak mendapatkan jodoh dan tidak mau dimadu oleh saudaranya, Dengan perasaan kesal dan sedih berjalanlah ia tanpa tujuan Sehingga akhirnya sampai di tempat tuwed nangka yang diperhalus oleh Bhatara çiwa, Wanita ini merasa tertarik / jatub cinta kepada togog nangka dan sambil dielus—elusnya iapun berkata “Wahai arca penjelmaan Mona, benar—benar terkesan dihati hamba, Yah seandainya tuanku (togog), menjadi manusia, hamba akan sanggup dan bersedia menghamba, Suka duka hamba akan selalu mendampingi serta memenuhi segala kehendak tuanku. Demikian ucapan wanita itu seraya mengurut togog tuwed nangka sehingga karena seolah—olah telah berhubungan dengannya keluarlah spermanya. Atas kehendak Hyang Bhatara akhirnya perempuan itupun hamil Namun ia tidak henti hentinya berujar bermohon kepada Bhatara agar apa yang dicita—citakan terlaksana.

Selanjutnya datanglah Bhatära Brahma disertai Bhatara Semara seraya berkata “Hai kamu perempuan Baliaga dusun, apa kehendakmu sekarang ? Hendak bersuami dengan togog ? Perempuan itupun menjawab sambil menyembah “Wahai paduka Bhatara, hamba menyadari tetapi oleh karena besar kasih sayang hamba kepada tawulan ini, andaikata berkenan dihati Bhatara alangkah berbahagia perasaan hamba seandainya paduka Bhatara dapat menjelmakan tawulan ini menjadi manusia agar dapat hamba jadikan suami sampai seterusnya”. Bhatarapun menjawab “Hai kamu manusja andaikata demikian kehendakmu baiklah akan aku laksanakan segalanya”. Kemudian Bhatarapun beryoga sehingga tidak lama akhirnya tawuluan itu menjelma menjadi seorang pria yang amat tampan. Tidak terkatakan betapa gembiranya wanita dusun Baliaga itu, sebagai tidak di dunia perasaannya. Segera penjelmaan itu diayunnya, dipangku, dirangkul, dielus— elus karena suka citanya sehingga hampir saja keluar sanghyang tiga smaraturanya (sperma), Tercenganglah Bhatara melihat tingkah ]aku perempuan itu dan berkata : “Hai kamu manusia, amatlah tidak senonohmu, Sekarang terimalah kutukanku atas dosamu yang tidak tahu diri tidak sabar berkasih kasihan serta mengelus elus dihadapanku, Sedikitpun kamu tidak mengenal malu dan tidak mempunyai perasaan takut Semogalah kamu hai manusia selalu bertengkar, tidak serasi dalam keluargamu karena kawin dengan tuwed, Kelak apabila kandungan ini lahir semoga melahirkan gumatap—gumitip sejumlah 175 dan berbalik menjadi musuh manusia di dunia, Selanjutnya apabila kamu kembali melahirkan anak dengan si Tawulan dimanapun mereka berada agar bernama Ki Mangatewel sebab leluhurmu berasal dari kayu tuwed nangka.

Pada bahagian lain babad Pasek Kayuselem diselingi ceritra bertahtanya seorang raja bernama Detya Karna pati dengan abiseka çri Jayapangus yang berkeraton di Balingkang. Selama beliau memegang tampuk pemerintahan, Bali amat aman, tenteram dan segala usahanya selalu ber hasil, Sebaliknya ketika çri Jayapangus wafat, Bali kembali menjadi lengang sebab tidak ada raja yang membimbing penduduk Bali. Menyadari hal ini Bhatara Putra jaya, Bhatara Ghnijaya serta Hyang Catur Purusa bersama sama pergi ke Jambudwipa menghadap Bhatara Hyang Pramesti Guru untuk memohon, agar ada raja yang memerintah di Bali. Permohonan beliau dipenuhi dan sesuai dengan hasil pertemuan para dewa, diputuskan Mayadanawa turun ke Bali untuk memegang tampuk pemerintahan, Mayadanawa adalah anak Bhagawan Kasyapa yang kawin dengan Dyah Wyapara, Dari perkawinan ini lahir Mayadanawa yang menikah dengan Dewi Malini putri dan Hyang Anantabhoga dan beribu-kan Ni Dewi Danuka. Mayadanawa selama memerintah di Bedahulu didampingi seorang patih yang amat terkenal bernama Kala Wong dan pusat pemerintahannya terletak di Batànar ( Pejeng). Pada awal pemerintahan Mayadanawa pulau Bali tidak jauh berbeda dengan masa pemerintahan çri Jaya pangus yang berkeraton di Balingkang. Namun hal ini tidaklah dapat berlangsung lama sebab sifat loba,tamak angkara murka serta “Nyapa kadi aku” makin menyelubungi hatinya. Prabu Mayadanawa tidak ingat akan dirinya sebagai seorang raja yang harus mengayomi dan melindungi seluruh rakyat, Mayadanawa tidak ingat akan kebesaran Tuhan yang telah menjadikannya, Bahkan dengan tegas Mayadanawa menghalangi dan melarang rakyat menghaturkan sembah dan pemujaan Ida Sanghyang Widhi Waça. Rakyat Bali tidak diperkenankan sujud kehadapanNya sebab Maya danawa berpendapat, tidak ada yang lebih kuasa, kuat dan berpengaruh selain dirinya, Oleh karena itu tidaklah ada gunanya menghaturkan sajian kepada Ida Sang hyang Widhi Waça kecuali kepada dirinya. Tindakan di atas amat merisaukan para dewata sebab sejak saat itu rakyat Bali tidak ada yang berani menghaturkan sembah dan bakti kepadaNya. Mereka takut melakukannya, khawatir serta cemas dikenakan hukuman ataupun siksaan oleh Mayadanawa, Kegelisahan para dewata makin tidak dapat dibendung lagi, Akhirnya para Bhatara dan dewata di Tolangkir menghadap Hyang Pra mesti Guru, memohon agar Prabu Maya danawa yang mencemaskan penduduk Bali dimusnahkan dari madyaloka. Hyang Pramesti Guru memerintahkan para dewata para resi dan tidak ketinggalan Bhatara Indra agar turun ke Bali untuk melenyapkan raja Mayadanawa, Se tibanya di Bali terjadilah pertempuran yang dasyat antara bala tentara Mayadanawa dengan para dewata, Korban diantara kedua belah pihak berjatuhan dan pertempuran tetap berkobar dengan sengitnya, Bala tentara Mayadanawa terdesak, tidak kuat melawan serangan para dewata yang dipimpin Bhatara Indra, Mayadanawa dan Patih Kala Wong melarikan diri tetapi walaupun menyamar menjadi berbagai bentuk, penyamarannya tetap diketahui Bhatara Indra. - Mula—mula Mayadanawa menjelma menjadi pohon timbul, kemudian lari ke sorga menjadi seorang bidadari tetapi diketahui juga dan tak henti—hentinya dikejar Bhatara Indra. Perlu kami sampaikan bahwa pada Usana Bali dijelaskan banyak nama—nama desa yang dihubungkan dengan penjelmaan Mayadanawa dalam menyelamatkan dirinya dari kejaran Bhatara Indra. Misalnya tempat Mayadanawa menjelma menjadi busung (daun kelapamuda),disebut desa Belusung, Tempat Mayadanawa menyamar menjadi pusuh ( jantung pisang) disebut desa Paburwan, tempat Maya danawa menyamar menjadi batu besar sekarang disebut desa Sebatu, Menjadi manuk (burung) disebut desa Manukaya Tempat Mayadanawa menyamar menjadi padi disebut desa Tampaksiring dan terakhir sampailah ia pada suatu tempat dan menjelma menjadi padas (paras), Pada penjelmaan inilah akhirnya Mayadanawa dipanah oleh Bhatara, Indra sehingga menemui ajalnya, Tempat terbunuhnya Mayadanawa dan Patih Kala Wong kini dikenal dengan nama desa Toya Dapdap dan Pangkung Petas. Sedangkan darah Mayadanawa yang terus mengalir menjelma menjadi sungai yang sekarang dikenal dengan nama sungai Petanu.
Tersebutlah setelah Prabu Mayadanawa meninggal, arwahnya dapat kembali ke sorga sebab walaupun Maya— danawa telah berbuat jahat dan melarang orang—orang menghaturkan sembah kehadapan Sanghyang Widhi Waça pada waktu beliau di Madyaloka namun tetap dianggap sebagai seorang kesatria (puruseng rana) yang rela berkorban di medan pertempuran. Dewi Malini amat sedih ditinggalkan suaminya (Mayadanawa), Ia merasa ini sebab arwah suaminya dapat menetap di sorga dengan tenangnya, Itulah sebabnya Dewi Malini pergi ke Sapta Petala menghadap ibundanya Dewi Danuka, Mendengar pengaduan putrinya, Dewi Danuka tidak dapat memecahkan permasalahan tersebut dan mereka berdua pergi menghadap Dewi Wyapara, Dewi Wyaparapun tidak dapat mengatasi persoalan di atas. Akhirnya mereka berdua(Dewi Wyapara dan Dewi Danuka) pergi ke Indraloka menghadap Bhatara ,Indra serta memohon agar Mayadanawa dapat kembali menjelma menjadi raja di Bali. Oleh Bhatara Indra permohonan mereka dikabulkan tetapi dengan persyaratan bahwa sebelum Mayadanawa menjelma Ia harus beryoga semadi untuk melenyapkan segala dosa yang pernah dibuatnya. Ketika yoganya selesai dan segala dosa—dosanya lenyap Mayadanawa diperintahkan menjelma menjadi raja di pulau Bali. Penjelmaan beliau buncing (kembar laki perempuan) dan berabiseka çri Aji Masula Masuli.

Sejak saat kelahiran çri Aji Màsula Masuli, Bhatara Indra memberitahukan kepada seluruh penduduk Bali bahwa mereka tidak diperkenankan kawin dengan saudara kandungnya. Mereka tidak diperkenankan meniru (amada—mada) çri Aji Masula Masuli yang kawin dengan saudara kandungnya. Ditegaskan bahwa andaikata diantara mereka ada yang melanggar, mereka harus dibuang ke laut sebab dianggap mencemarkan negara (angletuhin gumi). Lebih—lebih apabila ada penduduk yang melahirkan anak laki perempuan (kembar buncing) seperti ke lahiran Dalem çri Aji Masula Masuli, mereka harus disingkirkan dan bertempat tinggal di dekat kuburan Selama 42 hari, serta untuk mengembalikan kesucian desa penduduk harus melaksanakan upakara pamalik sumpah, anyapuh untuk melenyapkan kekotoran (keletehan) desa.
Lebih jauh diceriterakan bahwa dari çri Aji Masula Masuli ini lahirlah seorang putra yang tampan serta ahli menjalarkan weda mantra. ,Putra beliau bernama Tapolung (Tapaulung) yang kemudian menggantikan ayahnda-nya menjadi raja di Bali dengan didampingi dua otang patihrya yaitu Pasunggrigis dan Kebo Iwa, Selama pemerintahan raja Tapolung pulau Bali tetap aman Seperti pada masa pemerintahan Sri Aji Masula Masuli.

Selanjutnya pada bagian akhir babad mi dijelaskan bahwa Bhatara Putrajaya memerintahkan agar :

a. Mpu Ghnijaya beryoga di gunung Lempuyang bersama—sama Bhatara Kamimitan yaitu Bhatara Ghnijaya.

b. Mpu Semeru beryoga di Besakih bersama— sama Bhatara Putrajaya.

c. Bhatara Ghana beryoga di Dasar Bhuwana.

d. Mpu Kuturan beryoga di silayukti.

e. Mpu Bradah ke Jawa dan ke Bali (angajawa dan angabali).

Mpu Ghnijaya menurunkan Sanak Pitu. Mpu Sumeru menurunkan Mpu Kamareka dan Mpu Ghana menurunkan Mpu Galuh.

Setelah kita mengikuti beberapa garis besar isi babad Pasek Kayuselem yang merupakan uraian pelengkap babad ini, baiklah pada bagian ini kita mengalihkan pikiran untuk membicarakan bagaimana asal usul terjadinya Warga Pasek Kayuselem sesuai dengan babad yang kami pakai dasar penyusunan tulisan ini.

Tersebutlah pada waktu para dewata merabas dan membakar hutan di gunung Tampurhyang sebuah pohon asam( tuwed) tidak habis terbakar oleh api, Tuwed asam yang masih tersisa ini kelihatan sebagai orang yang sedang bersemadi (ngranasika). Penduduk Bali makin bertambah mengingat sudah banyaknya manusia di Bali. Bhatara Brahma diperintahkan oleh Hyang Pramesti Guru turun ke Bali untuk menciptakan manusia agar kelak ada keturunan Bhujangga di Bali. Ketika beliau sampai di Tampurhyang dijumpainya tuwed asam tersebut. Beliau amat tertarik melihat dan berkehendak memperbaikinya. Kemudian Hyang Brahma mengundang Bhagawan Wismakarma untuk memperbaiki dan memperhalus tuwed asam itu agar benar—benar menyerupai bentuk manusia. Untuk memenuhi maksud di atas serta agar beliau tidak dikenal oleh orang—orang Baliaga. Bhagawan Wismakarma menyamar menjadi seorang petani dusun, berbaju kotor dan bertopikan sebuah kuskusan datang ke tempat tuwed asam bekas pembakaran hutan di Tampurhyahg. Tuwed tersebut diperbaiki dengan saksama sehingga benar benar berbentuk wujud manusia yang tampan.

Sebelum Bhagawan Wismakarma meninggalkan Tampurhyang beliau tidak lupa memberikan petunjuk kepada wong Baliàga, bagaimana cara membuat bangunan (ngundaginin) agar dapat dikembangkan dan diterapkan pada masa mendatang. Atas perintah Hyang Pramesti Guru, Bhatara Indra ditugaskan mengajar wong Baliaga agar mereka dapat mengerjakan pekerjaan yang berhubungan dengan ukir mengukir (sangging). Selama Bhatara Indra berada di Tampurhyang beliau tidak lupa menyempurnakan togog celagi yang telah diperhalus sebelumnya oleh Bhagawan Wismakarma. Demikian pula agar penduduk Baliaga mengenal perdagangan, Bhatara Hyang Pramesti Guru mengutus para Bidadari menyamar menjadi penjual keris serta kain agar dapat ditiru oleh wong Baliaga. Pada kesempatan ini para bidadari pergi ke tempat togog tuwed celagi dan mengenakan kain, destar,sampir, ikat pinggang serta menyisipkan sebuah keris di pundaknya.
Keindahan togog makin bertambah serta orang—orang Bali aga tidak bosan—bosan menikmatinya. Siang malam mereka berbondong-bondong melihat sehingga tak ubahnya Seperti Sang Kresna di Dwarawati sedang dihadap para menteri dan rakyatnya. Kewibawaan togog makin cemerlang, sehingga banyak diantara mereka yang kagum dan tercengang menyaksikan. Bahkan banyak pula diantara nEreka mengeluarkan ucapan bahwa apabila tögog tersebut benar benar berwujud seorang manusia mereka akan sanggup menghamba selama hidupnya.

*** Diceriterakan Mpu Mahameru turun ke Bali hendak menghadap Bhatara Putrajaya di Tolangkir dan Bhatara Ghnijaya di Lempuyang. Dalam perjalanannya menuju desa Kuntugladi beliau beristirahat sejenak di Tampurhyang. Di tempat itu Mpu Mahameru melihat air yang jernih Se hingga timbul hasrat beliau untuk mencuci muka. Ketika beliau mencuci muka terlihat olehnya tuwed clagi yang amat tampan dan berwibawa sedang dikerumuni oleh orang orang Baliaga. Terketuk hati beliau untuk menjelmakan togog tersebut menjadi seorang manusia. Mpu Mahameru beryoga dan dengan segala keahliannya dan terjelmalah togog itu menjadi seorang manusia. Tiba—tiba manusia penjelmaan togog (Kayureka) menjadi amat tercengang serta keheran heranan sebab tidak mengetahui apa yang harus ia perbuat, seraya menghaturkan sembah dihadapan Sira Mpu ia pun bertanya : “Wahai Paduka Sang Mahamuni, siapakah yang telah menaruh belas kasihan kepada hamba sehingga hamba benar—benar menjelma menjadi seorang manusia ?“. Mpu Mabameru menjawab : “Hai Kayureka akulah yang menjelmakanmu menjadi manusia”. Kayukreka menyembah dan memeluk kaki beliau seraya bertanya : “Siapakah sebenarnya paduka yang masih kasihan kepada hamba ?“ Mpu Mahameru menjelaskan bahwa beliau adalah putra Bhatara Ghnijaya yang bersemayam di Adrikarang (Lempuyang).
Mendengar penjelasan itu Kayureka berkata “Wahai Mpu ngku junjungan hamba, hamba merasakan seolah—olah mendapatkan amerta dari paduka. Apakah yang harus hamba pergunakan membayar hutang hamba kehadapan paduka yang tak ubahnya sebagai bumi dan akasa ini ?. Sekarang tuluskanlah belas kasihan paduka kepada hamba agar segala dosa—dosa yang ada pada diri hamba menjadi bersih seterusnya. Demikian juga apabila paduka berkenan hamba memohon agar hamba bisa jüga kiranya mengikuti jejak Sang Mahameru”. Mpu Mahameru menjawab : “Tidak boleh aku menganugrahkan Sanghyang Aji kepadamu sebab engkau bukanlah berasal dari manusia, Tidak sepatutnyalah Sanghyang Aji dianugrahkan kepadamu”. Mendengar jawaban itu Kayureka menangis, menyesali nasib nya yang malang serta berkata : “Wahai paduka Bhatara, seandainya paduka tidak ada belas kasihan kepada hamba, menganugrahkan Sanghyang Aji, baiklah kembalikan dirihamba kepada wujud semula yaitu berupa tuwed, Apakah gunanya hamba menjadi manusia tidak mengetahui tata laksana dan selalu akan dijadikan tertawaan orang ?“. Mpu Mahameru tertegun mendengar ucapan Kayureka Tiba tiba terdengar suara dari angkasa : “Anakku Sang Mpu, janganlah demikian, boleh juga anakku menganugrahkan Sanghyang Aji kepadanya sebab anakku jugalah yang menjelmakan Kayureka nenjadi manusia, Janganlah khawatir aku memperkenankan Sanghyang Aji diajarkan kepada— nya”. Mpu Mahameru berpikir dan berkata : “Wahai Kayu reka, benarlah kamu ini seorang dewata yang berganti rupa menjadi sebuah togog, Pantaslah kamu menjadi Wong lawu, Sekarang marilah mendekat képadaku, aku akan menganugrahimu”. Kayurékapun mendekat dan menunduk di hadapan Sang Adiguru. Sabda Sang Mahajati “Hai Kayu reka, dengarkanlah petuahku baik—baik dan janganlah engkau mengumbar—ambirkan serta meremehkannya, karena Sanghyang Aji yang akan aku anugrahkan amat keramat. Terimalah anugrahku semoga kamu dapat meresapkan ke dalam batinmu dan karena tidak adanya Bhujangga di Bali, mulai sekarang engkau diperkenankan menjadi Bhujangga (mujanggain) orang—orang Baliaga semuanya Janganlah lupa memberitahukan keturunanmu agar mereka selalu mengingat asal usulnya. Begitu pula kelak apa— bila lahir keturunan dari kakakku Mpu Ghnijaya, keturunanmu harus menghormat dan menyembahhya, Tetapi keturunanku tidak boleh menyembah keturunanmu sebab kamu aguru putra denganku lagi pula penjelmaanmu berbeda dengan kelahiranku. Ingatlah jangan lupa, amat’ berbahaya apabila engkau tidak mentaati petuahku, Ada pun anakku Kayureka oleh karena engkau sudah apodgala (dibaptis) mulai sekarang engkau bernama Mpu Bendesa Dryakah sebab engkau berasal dan tuwed pada mulanya. Engkau diperkenankan melaksanakan upakara kematian( pralina ngentas) tetapi yang boleh kamu selesaikan upakaranya hanyalah orang—orang Baliaga saja, Anakku Mpu Dryakah kelak apabila engkau sudah meninggal dan diupakarai oleh anak cucumu, upakaranya tidak boleh diselesaikan oleh Brahmana. Kamu cukup memohon di kawitanmu (kahyanganta) sebab asal usulmu bukanlah dari manusia. Apabila anak cucumu telah selesai mengupakarai jasadmu, engkau diperkenankan melakukan pitra yadnya sebanyak tiga turunan, dan setelah tiga turunan barulah sang resi Siwa Bhudha diperkenankan menyelesaikan (muputang) upakaranya. Ingat dan beritahukanlah petuah—petuahku ini kepada seluruh keturunanmu karena amat berbahaya apabila kena kutukanku’. Demikianlah sabda Mpu Mahameru kepada sisyanya disertai sembah sujud Mpu Dryakah dihadapannya.
Disamping itu Mpu Mahameru memperingatkan kepada orang Baliaga bahwa kelak apabila diantara mereka ada yang hendak melaksanakan upakara pitrayadnya, mereka diperkenankan membakar jasad, (mabya geseng ) dan setelah dibakar diperkenankan menanam kembali. Itulah yang disebut wangsa Krama Tambus yang penyelesaian upakaranya dilaksanakan oleh Mpu Dryakah. Sebagai kelanjutannya mereka diperkenankan juga melaksanakan upakara matres dan matuwun.

Kepada keturunan Ki Barakan yang berasal dari tanah liat diperingatkan oleh Mpu Mahameru bahwa keturunan mereka diperkenankan membakar jasad dan menanamnya kembali. Keesokan harinya mereka diperkenankan melakukan upakara ngirim yaitu membuat symbohis orang—orangan di atas kuburannya dan apabila ada yang hendak melanjutkan dengan upakara matres dan matuwun tidak dihalangi. Mpu Mahameru menegaskan. apabila mereka hendak bercakap—cakap dengan Bhujangga Mpu Bendesa Dryakah, mereka harus menyebut beliau Jro Gede sebagai panggilan penghormatannya.

Ditambahkannya setelah Mpu Mahameru memberikan penje1asan kepada Wong Baliaga, untuk lebih sempurnanya keutamaan (kahotaman) Mpu Bandesa Dryakah, Mpu Mahameru kembali menganugrahkan Sanghyang Aji Sehingga pikiran (ajnanan) Mpu Dryakah makin terang Sejak saat itu nama beliau diganti menjadi MpuKamareka. Tidak lama setelah menganugrahkan Sanghyang Aji serta memberikan petuah—petuah kepada Wong Bali aga, Mpu Mahameru meninggalkan Tampurhyang melanjutkan perjalanan menghadap Bhatara Putrajaya di Tolangkir serta Hyang Kamimitan Bhatara Ghnijaya di gunung Lempuyang. Selama di Bali dan bekerja sama dengan Bhatara Tri Purusa, Tolangkir, Lempuyang dan UlunDanu yang dibantu oleh Wong Baliaga di bawah pimpinan Mpu Kamareka, beliau membuat beberapa kahyangan-kahyangan lainnya. Hal inilah yang menyebabkan keberangkatan Mpu Mahameru ke Jawadwipa mengalami hambatan.

Diceriterakan sepeninggal Mpu Mahameru diBali, Mpu Kamareka kembali beryoga di gunung Tampurhyang yaitu pada suatu tempat yang agak tinggi bernama Gwa Song. Beliau melaksanakan yoganya dengan taat dan tekun sesuai dengan petunjuk yang diterima dan Mpu Mahameru. Dalam melaksanakan tapa, beliau tidak makan maupun minum kecuali memusatkan pikiran (ngranasika ) menghadap ketimur selama satu tahun empat hari, menegakkan Sanghyang Ongkara Mantra di dalam hatinya. Berkat kekuatan yoganya maka turunlah paduka Bhatara Brahma dari alam sunya menganugrahi Mpu Kamareka. Bhatara Brahma bersabda “Hai kamu Mpu Kamareka sungguh amat kuat yoga semadimu menghormat kepadaku. Sekarang trimalah anugrahku kepadamu tatwa dyatmika, bentuk tak berbentuk. Begitu pula aku berpesan kepada mu bahwa apabila nanti ada seorang perempuan cantik datang kepadamu mencari tirtha kamandalu, banu pawitra, itulah anugrahku sebagai istrimu dan nanti apabila kamu melahirkan keturunan dengannya berilah ia nama Mpu Ghnijaya Kayu Ireng. Demikianlah anugrah Bhatara Brahma maka Mpu Kamareka menghaturkan sembah.
Tidak hanya sampai di sini bahkan setelah beliau menerima anugrah Bhatara Brahma, Mpu Kamareka kembali beryoga memusatkan pikiran dihadapan api perasapan, Asapnya membubung ke atas, bau yang harum sampai ke sorga. Gemparlah seluruh widyadara dan widyadari para dewata serta para resi gana yang ada di sorga. Dari awang—awang keluarlah Bhatara Sanghyang Acintya disertai hujan bunga dan bersabda : “Wahai Kamareka walaupun kamu seorang Mpu dan keturunan sudra (kula wangsa) tetapi tidak terhingga betapa teguh yoga Semadimu, Sekarang ada anugrahku kepadamu tirtha kamandalu, banu pawitra. Terimalah tetapi janganlah ditekeburkan, simpanlah baik—baik dalam hatimu.Tak lama kemudian lenyaplah Bhatara diiringi weda pujaan Mpu Kamareka. Bertambah tambah kegembiraan Mpu Kamareka berkat anugrah Sanghyang Aji yang telah sampaikan kepadanya.

Diceriterakan Dadari Kuning diperintahkan Bhatara Indra ke Tampurhyang untuk menjadi jodoh Mpu Kamareka. Setibanya di Gwa Song Dadari Kuning dilihat oleh Mpu Kamareka seraya disapanya, “Wahai wanita cantik yang tak ubahnya seperti Dewi Gangga, dan manakah tuan putri sehingga sampai di sini di tengah hutan yang lebat serta siapakah sebenarnya tuan putri ini ? Siapakah orang tua anda,kalau boleh ceriterakanlah kepada hamba segera”. Menjawab Dadari Kuning, “ Hamba ini adalah seorang bidadari dan Indraloka, membuang— buang langkah ke Bali hendak mencari tirtha pawitra. Tetapi oleh karena hamba melihat sebuah sinar gemerlap, hamba memutuskan menuju sinar tersebut. Itulah sebabnya hamba sampai ke tempat ini”. Mpu Kamareka menjawab : “Baiklah hai wanita cantik yang tak ubahnya sebagai Dewi Ganggà. Apakáh maksud tuan putri mencari tirtha pawitra ? ”. Wahai Sang Maha Mpu dahulu pada waktu hamba di sorga loka hamba merasa khawatir terhadap para watek gandharwa yang selalu mendesak dan memaksa hamba untuk menjadi istrinya. Itulah sebabnya hamba pergi dan sorga, pergi tanpa tujuan untuk membersihkan diri dan akhirnya bertemulah hamba dengan Sang Mahamuni di sini. Mpu Kamareka berkata : “Báiklah andaikata demikian,apabila tuan putri tidak berkeberatan marilah kita bersama—sama menanggung kesengsaraan di hutan belantara ini. Dadari Kuning menjawab : “Aduhai Sang Mahamuni teringatlah hamba pada perintah Bhatara dahulu menyuruh hamba turun ke dunia, Mungkin benar inilah jodoh hamba, Yah apabila Maha muni tidak berkeberatan tuluskanlah belas kasihan Mpu ngku kepada hamba. Mpu Kamareka tertegun tidak bisa menjawab permohonan Dadari Kuning oleh karena suka citanya, pilu bagaikan disayat hatinya,Akhirnya beliau pun menjawab dengan gregetan : Aduhai buah hatiku tidak lain hambalah jodohmu, Teringat hamba kepada sabda Bhatara báhwa bidadarilah tuanku, tidak sabar sudah kakandamu menantikannya”. Dadari Kuning menunduk, dipangku, dibelai oleh Mpu Kamareka dengan gregetan seraya berkata : “Aduhai idaman hatiku, terus kanlah kasih sayangmu kepada hamba, bersama menderita di dalam hutan, Kakandamu tidak akan menentangmu walau pun sampai tujuh kali menjelma kanda akan selalu menyertaimu”. Dadari Kuning menjawab dengan berlinangkan air mata “Wahai Mpu-ngku janganlah demikian tergesa—gesa Mpungku. Siapakah yang tidak akan bergembira apabila Mpungku berbahagia bersama hamba. Tetapi permintaan hamba apabila perkawinan telah terlaksana Mpungku tidak boleh menolak segala permintaàn hamba sebab demikianlah tata krama di sorga loka. Menjawab Sang Mpu Kamareka “Baiklah kalau demikian,kanda akan mematuhi permintaanmu, Janganlah ragu—ragu terhadap hamba. Kemudian merekapun kawin dan bersama sama mengecap kebahagiaan orang bersuami istri.
Entah berapa lama mereka bersuami istri,lahir dua orang anak laki perempuán yang amat cantik rupanya. Tidak terhingga betapa gembiranya Mpu Kamareka beserta istrinya. Kedua putra putri beliau diupacarai sesuai dengan upakara yang telah berlaku. Kedua putra putrinya diberi nama Ki Kayu Ireng dan Ni Kayu Ayu Cemeng. Ketika keduanya telah dewasa Ki Kayu Ireng berkata pada ayahndanya “Wahai ayahnda oleh karena anaknda sudah dewasa dan di gunung demikian dinginnya ka1au boleh hamba ingin mencari seorang istri, ayah anda”. Sang Maha Mpu menjawab “Anakku Kayu Ireng baiklah tetapi yang patut engkau jadikan istrimu tidak lain adikmu Ni Kayu Ayu Cemeng sebab ialah jodohmu semenjak engkau berada di dalam perut. Hanya saja sekarang masih menunggu hari yang baik untuk melangsungkan upakaranya. Akhirnya ketika tiba waktunya Ki Kayu Ireng dikawinkan dengan Ni Kayu Ayu Cemeng serta setelab dibaptis (apodgala) Ki Kayu Ireng berganti nama Mpu Ghnijaya Mahireng.
Selanjutnya pada .waktu Mpu Mahameru pergi ke Bali menghadap Bhatara Putrajaya di Besakih dan Bhatara Ghnijaya di Lempuyang beliaupun tidak lupa singgah di Tampurhyang menemui Mpu Kamareka. Beliau disambut Mpu Kamareka dan istrinya sesuai dengan penyambutan para pendeta yang lazim dilaksanakan. Pada kesempatan ini Mpu Kamareka diberi petuah agar tetap taat melaksanakan apa yang telah dianugrahkan kepadanya. Ditegaskan bahwa sejak saat itu Mpu Kamareka rumawak ksatriya Brahmana selama tiga keturunan saja dan setelah itu kembali menjadi kulawangsa (sudra). Para pratisentana Mpu Kamareka dimanapun mereka berada agar tetap menjaga gagaduhan yang telah dipaparkan.Sebaliknya apabila ada yang melanggar gagaduhan tersebut mereka dikutuk agar menjadi wong tani cingkrang Pada waktu meninggalnya tidak boleh upakaranya dilaksanakan oleh brahmana atau dibakar sebab mereka di anggap bukan ketürunan Mpu Kamareka. Sedangkan bagi mereka yang taat melaksanakan gagaduhan di atas disebut wong tani dan setelah tiga turunan menjadi Arya Pasek Kayuselem. Demikian pula mereka yang sudah dianggap akhli menjalankan tata agama diperkenankan mujanggain tetapi batasnya hanya tiga turunan dan Setelah itu surud kembali. Kelak apabila ada keturunanmu hendak membakar jasad leluhur apabila belum ada brahmana di Bali yang lahir dari keturunan Mpu Ghni jaya, keturunan beliau yang disebut Jro Gede diperkenan kan menyelesaikan upakaranya. Sekarang anakku diperkenankan melaksanakan penyelesaian (muputang) jasad orang—orang Baliaga semua, Sebelum Mpu Mahameru kemba1i ke Jawadwipa beliau tidak lupa menganugrahkan Sanghyang Aji kepada Mpu Kamareka. Sepeninggal Mpu Mahameru, Mpu Kamareka memberi petuah kepada putranya sesuai dengan petuah yang beliau terima dari Mpu Mahameru. Antara lain oleh karena telah banyaknya keturunan Mpu Kamareka ditekankan agar pratisentanan beliau tetap menjaga gagaduhan dan harus aguru sisya dengan keturunan Bhatara Ghnijaya yang disebut Sanak Pitu. Walaupun mereka bersaudara, oleh karena asal penjelmaan mereka berbeda maka ditegaskannya keturunan Mpu Kamareka harus menghormati dan menyembah keturunan Sanak Pitu. Keturunan Mpu Kamareka tidak diperkenankan saling ambil mengambil (silih alap) dengan ke— turunan Sanak Pitu. Tetapi apabila keturunan Sanak Pitu berkenan, mereka boleh mengambil keturunan Mpu Kamareka, Keturunan Sanak Pitu tidak diperkenankan menyembah keturunan Mpu Kamareka tetapi keturunan Mpu Kamareka harus menyembah keturunan Sanak Pitu sebab méreka pernahsisya dengan Bhatara Ghnijaya. Seandainya keturunan Mpu Kamareka meninggal jasadnya tidak boleh dibakar agar asapnya tidak membubung lebih atas dan pura Panarajon, pura Ulun Danu, pura Tegeh serta gunung Tampurhyang.. Bhatara tidak menginginkan kahyangañ beliau diliputi asap mayat yang amat kotor (leteh). Untuk mengatasi hal ini mereka hanya diperkenankan melaksanakan upakara penguburan ( mabya tanem ).
Disamping Mpu Ghnijaya Mahireng, Mpu Kamareka melahirkan pula tiga orang putra yaitu Sang Made Clagi, Sang Noman Taruan dan Sang Ketut Kayuselem yang setelah dibaptis (apodgala) masing—masing berganti nama menjadi Mpu Kaywan, Mpu Nyoman Tarunyan dan Mpu Badengan. Seperti halnya Mpu Ghnijaya Mahireng ketiga adik beliau inipun menjadi Bhujangga di Bali. Dari Goa Song mereka berpindah dan beryoga semadi mencari tempat masing—masing. Mpu Kaywan berpindah dan beryoga di Panarajon, Mpu Nyoman Tarunyan pindah ke gunung Tuluk biyu di Blong yang selanjutnya disebut desa Taruñyan.
Sédangkan Mpu Badngan menetap di Gwa Song (Songan)’beserta kakaknya Mpu Ghnijaya Mahireng. Dan catur bhujangga ini melahirkan keturunan yang pada akhirnya saling ambil mengambil (silih alap) diantara mereka.
Dunia berputar terus, usia Mpu Kamareka makin bertambah lanjut dan masanya kembali ke alam sunya makin mendekat, Kini Mpu Kamareka sudah wreda, beliau menyadari bahwa tidak lama beliau harus meninggalkan anak cucunya. Oleh karena itu beliau memanggil seluruh anak cucunya untuk menyampaikan bahwa pada purnamaning kartika. beliau akan meninggalkan mereka kembali kepada Sanghyang Acintya. Pada kesempatan itu beliau berpesan bahwa apabila beliau telah meninggal agar anak cucunya membuatkan kahyangan mengukuhkan (ngadegang ) Sanghyang Tri Purusa beserta Hyang Bhatara lainnya dan khusus baginya agar dibuatkan Sebuah bebaturan sebagai pelinggihnya. Kahyangan tersebut harus dipelaspas, anyapuh serta melaksanakan piodalannya pada hari tileming kadasa. Seluruh keturunannya (Warga Pasek Kayuselem) agar melaksanakan upacara di atas dengan hikmat dan tawakal. Mereka yang tidak mau patuh kepada petunjuk beliau akan kena kutukan yaitu banyak kerja tetapi tidak menemukan pahalanya. Segala tindak perbuatannya tidak akan menemukan kebahagiaannya serta setiap akan muncul di akhiri dengan kegagalan (sugih gawe kurang pangan salampah lakunya tan amangguhaken ayu, mentik—mentik punggel). Selanjutnya apabila pada kahyangan tersebut tumbuh pohon kayu yang hitam warñanya, hal itu suatu pertanda bahwa beliau (Mpu Kamareka) telah berbadan sakala niskala, telah beradá di sisi Sanghyang Jagat Karana serta sejak saat itu berilah nama kahyangan tersebut pura Kayuselem. Seandainya di sini (di Gwa Song) telah tumbuh pohon beringin hal itu suatu pertanda bahwa Mpu Kamareka di alam sunya telah atirta gamaña. Dan sanalah beliau mendoakan seluruh keturunannya (Warga Pasek Kayuselem) yang taat dan patuh terhadap petuahnya tidak akan kurang sesuatu apapun. Hidup dalam kebahagiaan serta kepada mereka yang telah ahli menjalankan weda mantra diperkenankan melaksanakan upakara (manditanin) dan patut dihormati seluruh keluarganya.

Kini- tibalah purnamaning kartika, hari yang ditunggu—tunggu Mpu Kamareka bersiap—siap menuju sunya taya. Pada waktu itu seluruh wong Baliaga, para tamu terutama para warga Sanak Pitu diundang menghadiri dan menyaksikan perjalanan beliau ke alam niskala. Putra— putra beliau sang atur pandita yaitu Mpu Ghnijaya Mahireng, Mpu Panarajon, Mpu Tarunan serta Mpu Badng— an sibuk menyapa dan menyambut para tamu yang datang menghadirinya. Dauh 5, rabu, madhura, byantara, dadi, mahulun wurukung, guru mandala, mnga pada waktu itulah saatnya”Mpu Kamareka mengenakan pakaian serba putih tanda kesuciannya. Seluruh persiapan upakara telah disiapkan yaitu dupa, menyan, astanggi, tile gandapati serta seluruh alat—alat pemujaan lainnya berada di tempatnya masing masing. Mpu Kamareka dengan tenang dan tabah dituntun para putranya keluar menjumpai para tamu yang diundang nya. Kepada para tamu Mpu Kamareka berkata dengan hormatnya : “Amatlah berbahagianya hati kami sebab Seluruh maha pendeta telah datang ketempat ini,meluangkan waktu untuk memenuhi undangan kami, menyaksikan dan memberikan doa restu sebagai pengantar kami menuju alam sunyata. Kesemuanya itu benar-benar mengharukan dan menggembirakan hati saya sebab segalanya menandakan bahwa para Mpu benar—henar tulus, ikhlas kepada hamba. Menjawab para Mpu serta sisya beliau : “ Wahai adikku Sang Mpu, andaikata demikian maafkanlah kami sebab seolah—olah lupa mematuhi kehendak Sang Mpu. Kini kami akan selalu bersedia memenuhi dan mentaati kehendak adik Sang Mpu”, Mpu Kamareka berkata kepada para sisyanya : Aduhai para sisyaku semua, dengarkanlah sekali lagi petuahku apabila keturunanmu telah berkembang beritahukan pula kepadanya bagaimana cara melaksanakan upakara berkenaan dengan upakara kematian (ngaben). Andaikata diantara keturunanmu belum ada yang bisa mujanggain, salah seorang dan keturunan Sanak Pitu yang telah menjadi Bhujangga diperkenankan melaksanakan upakara di atas sebab demikianlah petuah yang telah aku terima dari Bhatara junjungan kita Bhatara Mpu Mahameru. Ingatlab segala nasehat—nasehat ku’. Jikalau ada keturunanku yang tidak mau mematuhi petuah serta nasehatku semoga kena kutukan, merosot, bodoh, banyak kerja tetapi tidak menemukan pahalanya. Lagi pula pada waktu engkau melaksanakan upakara kematian (ngaben) tetapi belum ada Bhujangga di Bali engkau diperkenankan nuhur tirta pangentas di kahyangan saja. Tetapi sebelum engkau nuhur tirta,berdoa dan mohonlah kehadapan Bhatara Jagat Karana serta Sanghyang Tri Purusa. Namun sebelum melaksanakan hal di atas beritahukankanlah kepadaku dahulu,(anging manira astawa rutnuhun) aku akan datang dari alam sunya membantumu memohonkan tirtha pangentas dan pabersihan. Kemudian jika Bhatara Tri Purusa telah menganugrahkan tirtha beritahukan pula kepadaku segera sebab dari sana aku bersama—sama Bhatara akan menganugrahkan tirtha panglambus. Adapun cara memohonnya pergunakanlah sangku tembaga, bahem. slaka, batil besi, dengan rerajahannya masing—masing. Tempat Sanghyang tirta berupa 3 buah periuk (payuk anar) tempat tirta pabersihan”. Para sisya mendengarkannya dengan tekun dan meresapkan petuah—petuah beliau ke dalam hati seraya menghaturkan sembah kepada sang kawitan. Ketika telah selesai memberikan petüah Mpu Kamareka beryoga dan dengan tenang moksa menuju alam sunyata.

Diceriterakan setelah Mpu Kamareka moksa Mpu Ghni jaya Mahireng beserta saudara—saudara dan cucunya berkumpul membicarakan petunjuk yang telah disampaikan Sang wuwus lepas yaitu agar segera melaksanakan upakara pitrayadnya Hari Rabu, mahadewa, kresna paksa ping 15, sasih badrawada mereka mengundang para pandita yang disebut Sanak Pitu agar datang ke Songan menyaksikan upakara pitrayadnya yang akan diselenggarakannya. Upakara berlangsung dengan meriah, gambelan selonding ditabuh sehingga menambah khikmatnya upakara tersebut. Mpu Ragarunting dan Mpu Kaywan mamutru. Mpu Ketek ayoga tasik wedana, Mpu Witadharmma melaksanakan reg weda, Mpu Panarajon ngastawa wedana. Amatlah meriahnya upakara di atas, suara genta bergema bagaikan suara kumbang sedang mengisap bunga. Demikianlah suasana pitrayadnya yang dilaksanakan oleh Mpu Ghnijaya Mahireng dan setelah upacara berakhir para tamu pun kembali ke tempatnya masing—masing.

Oleh karena upacara pitrayadnya telah dilaksanakan selanjutnya Mpu Ghnijaya Mahireng beserta anak cucunya membangun kahyangan sesuai dengan petuah sang wuwus lepas yaitu :

1. Di Jeroan.

a. Sanggar agung pangastawan Bhatara Hyang Suci yang berabiseka Sanghyang Taya.

b. Gedong Tn Purusa tumpang t1u, pangastawan Bhatara çiwa, Sada Siwa, Parama Siwa yang juga disebut Sanghyang Tiga Yadnya.

c. Gdong tumpang dua, pangastawan Bhatara Hyang Brahma dan Hyang Wisnu.

d. Kemulan rong telu, pangastawan Sanghyang Tn Purusa, Brahma Wisnu, Içwara rikala atma tiga.

e. Bebaturan rong dua pangastawan Sanghyang Akasa bertemu dengan Sanghyang Ibu Pertiwi disebut juga, Ibu, Bapak yang menimbulkan amerta siwaiba ( Dwipala).

2. Di Madya : Pesamuhan agung untuk Bhatara semua.

3. Di Jabayan.

a. Bebaturan rong dua, lanang wadon pangastawan Hyang Kawitan.

b. Bebaturan rong t1u, pangastawan.Sanghyarig tiga sakti.

c. Sedahan taksu apit lawang.

Seluruh pelinggih kahyangan di atas selesailah sudah dibangun serta upakara anyapuh, pamelaspas, ngenteg linggih segera dilaksanakan. Tidak lama kemudian pohon asam hitampun tumbuh di kahyangan tersebut sehingga sejak saat itu pura tersebut dinamakan pura Kayu selem yang juga merupakan suatu pertanda Mpu Kamareka telah berbadan sakala niskala.

Sesuai dengan petuah Hyang Kawitan oleh karena pelaksanaan upakara telah selesai, sebagai pertanda kebenaran (kesujatian) kahyangan dibangunnya, didirikan pula sebuah kahyangan disebut pura Jati yang menjadi junjungan penduduk pulau Bali.



Puput

BABAD PULASARI

Oleh : Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandi (Sentana Dalem Pulasari)

Mudah-mudahan tiada halangan !
Permohonan maaf hamba ke hadapan arwah para leluhur yang
disemayamkan dalam wujud Ongkara dan selalu dipuja dengan hati suci.
Dengan memuja dan memuji kebesaran Sanghyang Siwa semoga penulis
terhindar dari segala kutukan, derita, cemar, duka-nestapa, dan halangan
lainnya. Mudah-mudahan tujuan hamba yang suci ini berhasil serta bebas
dari dosa-dosa karena menguraikan cerita leluhur di masa lampau, semoga
direstui sehingga mendapat kejayaan, keselamatan, keabadian, panjang
usia, sampai dengan seluruh keluarga turun temurun.
Baiklah kisah ini saya mulai:
Majapahit yang dipimpin Raja Putri: Sri Ratu Tribhuwanottunggadewi
Jayawisnuwardhani bersama Patih Agung: Gajah Mada berhasil menguasai
Kerajaan Bali Aga yang dipimpin oleh Raja: Paduka Bathara Sri Asta Asura
Ratna Bumi Banten (dikenal dengan nama: Bedahulu) dengan Patih: Ki
Pasung Grigis dan Ki Kebo Iwa, pada tahun 1343 M atau isaka 1265.
Pimpinan Pemerintahan sementara diserahkan kepada Mpu Jiwaksara yang
kemudian bergelar Ki Patih Wulung. Beliau menempatkan pusat
Pemerintahan di Gelgel. Walaupun Bali sudah dikalahkan Majapahit, tidak
berarti rakyat dan tokoh-tokoh militer Bali Aga sudah menyerah. Mereka
terus mengadakan perlawanan di bawah tanah, dan sekali-sekali muncul ke
permukaan, misalnya pemberontakan yang dipimpin oleh Ki Tokawa di
Ularan, dan Ki Buwahan di Batur.
Setelah tujuh tahun barulah pemberontakan-pemberontakan dapat
dipadamkan, namun rakyat Bedahulu masih belum mau menerima
kehadiran "si-penjajah" sepenuh hati. Melihat keamanan sudah membaik
dan Pemerintahan sudah dapat berjalan sebagaimana mestinya, maka pada
tahun 1350 M atau 1272 isaka, Ki Patih Wulung berangkat ke Majapahit
untuk menghadap Sri Ratu. Tujuannya adalah melaporkan situasi di Bali dan
memohon penunjukan seorang Raja di Bali Dwipa.
Atas saran Patih Agung Gajah Mada, pada tahun itu juga dilantiklah empat
orang Raja, putra-putri Sri Soma Kepakisan, untuk memimpin
kerajaan-kerajaan yang sudah ditaklukkan, yaitu: Sri Juru, menjadi Raja di
Blambangan, Sri Bhima Sakti menjadi Raja di Pasuruan, Sri Kepakisan
(putri) menjadi Raja di Sumbawa, dan Sri Kresna Kepakisan menjadi Raja
di Bali Dwipa.
Dalem Ketut kemudian bergelar Dalem Sri Kresna Kepakisan, mulai
memimpin Pemerintahan Kerajaan Bali Dwipa pada tahun 1350 M atau 1272
isaka. Oleh penduduk Bali beliau disebut sebagai I Dewa Wawu Rawuh. Ibu
kota Kerajaan dipindahkan dari Gelgel ke Samprangan (Samplangan). Ki
Patih Wulung menjabat sebagai Mangku Bumi.

Dalem Sri Kresna Kepakisan beristri dua, yaitu yang pertama: Ni Gusti Ayu
Gajah Para, melahirkan: Dalem Wayan (Dalem Samprangan), Dalem
Di-Madia (Dalem Tarukan), Dewa Ayu Wana (putri, meninggal ketika masih
anak-anak), dan Dalem Ketut (Dalem Ketut Ngulesir). Istri yang kedua: Ni
Gusti Ayu Kuta Waringin, melahirkan: Dewa Tegal Besung.
Dalem Sri Kresna Kepakisan moksah pada tahun 1373 M atau 1295 isaka.
Beliau digantikan oleh putranya yang tertua yaitu Dalem Wayan, bergelar
Dalem Sri Agra Samprangan. Beliau memerintah secara sah sampai tahun
1383 M atau 1305 isaka, kemudian beliau digantikan oleh adiknya yaitu:
Dalem Ketut Ngulesir, bergelar Dalem Sri Semara Kepakisan, memerintah
sejak tahun 1383 M atau 1305 isaka sampai tahun 1460 M atau 1382 isaka.
Ibu kota Kerajaan dipindahkan dari Samprangan ke Gelgel yang diberi nama
baru: Sweca Pura.
Di awal pemerintahan Dalem Sri Agra Samprangan (tahun 1373 M atau
1295 isaka) terasa situasi di Puri Samprangan memburuk, yaitu adanya
upaya mengadu domba Raja dengan adik-adik beliau yang dilakukan oleh
para Menteri dan pembantu dekat Raja.
Untuk menghindari pertengkaran, maka kedua adik Raja yaitu Dalem
Di-Madia dan Dalem Ketut, memilih tinggal di luar istana. Dalem Di-Madia
membangun istana dan bermukim di Desa Tarukan, Pejeng, oleh karena itu
beliau bergelar : Dalem Tarukan. Dalem Ketut, tidak menetap. Beliau
berpindah-pindah dari satu Desa ke Desa lain, menyamar sebagai penjudi
ayam aduan; penduduk lalu menjuluki beliau : Dalem Ketut Ngulesir.
Selain untuk menghindari pertengkaran, beliau berdua juga bermaksud
menyelidiki dukungan rakyat Bali (Bali-Aga) terhadap pemerintahan
Samprangan serta mengadakan pendekatan dengan rakyat. Ide Bethara
Dalem Tarukan memilih Desa Tarukan di Pejeng sebagai istana, karena
dekat dengan rakyat Bedahulu yang sebahagian besar masih belum
mengakui pemerintahan Samprangan.
Sementara itu pergolakan di Puri Samprangan makin memanas, ditandai
dengan pemberian julukan yang tidak pada tempatnya kepada Raja, di
mana Dalem Sri Agra Samprangan diberi julukan Dalem Ile (Ile=gila), Dalem
Tarukan dinyatakan "rangseng" (=gila karena marah), dan Dalem Ketut
dinyatakan sangat suka berjudi, khususnya mengadu ayam.
Julukan tidak pada tempatnya yang diberikan kepada para Raja itu sangat
bertentangan dengan ajaran agama Hindu yang senantiasa mengajarkan
penghormatan tinggi kepada Pemimpin Pemerintahan. Penghinaan kepada
Raja itu jelas fitnah, karena jika benar adanya, pasti Maha Raja Majapahit
dan Maha Patih Gajah Mada tidak akan tinggal diam. Tindakan pemecatan
atau penggantian Raja pasti dilakukan. Selain itu, jika julukan itu benar,
para musuh, yaitu rakyat Bedahulu akan mempunyai peluang yang baik
untuk menggulingkan Pemerintahan Samprangan.
Setelah selesai membangun Puri, Dalem Tarukan menikahi seorang
Bidadari dari Gunung Lempuyang. Karena belum mempunyai putra, beliau

mengajak kemenakannya, yaitu cucu Dalem Wayan, Raja Blambangan,
bernama: Kuda Penandang Kajar untuk tinggal bersama-sama di Puri
Tarukan.
Kuda Penandang Kajar adalah seorang pemuda yang tampan, gagah, dan
mempunyai kekuatan batin yang tinggi, khusus untuk meneliti apakah tanah
ada kandungan emasnya atau tidak. Karena itulah Puri Tarukan sangat
mewah dan terkesan kaya raya karena dipenuhi ornamen emas murni.
Dalem Tarukan sangat menyayangi kemenakannya.
Pemerintahan Samprangan di ambang kehancuran, karena tidak adanya
dukungan dari para Menteri dan pembantu Raja. Dalem Wayan merasa
perlu memanggil adik beliau yaitu Dalem Ketut untuk diajak kembali tinggal
di Puri Samprangan. Maksudnya agar Dalem Ketut turut membantu beliau
menyelenggarakan pemerintahan.
Perbekel Kaba-Kaba diutus beliau untuk menjemput Dalem Ketut ke Desa
Pandak, tetapi Dalem Ketut menolak karena beliau merasa belum mampu
memimpin kerajaan di Samprangan. Jika Samprangan telah dipenuhi oleh
para menteri dan pembantu Raja yang tidak setia, apakah beliau akan dapat
memimpin dengan baik ?
Sementara Dalem Ketut mencari jalan keluar memecahkan masalah ini,
datanglah Kuda Penandang Kajar sebagai utusan Dalem Tarukan memohon
Dalem Ketut pulang untuk memimpin Kerajaan Samprangan. Dalem
Tarukan sendiri tidak berniat menjadi Raja, karena beliau lebih tertarik
kepada profesi kepanditaan. Pesan lain yang disampaikan Kuda Penandang
Kajar adalah, jika Dalem Ketut berkenan, beliau dibolehkan menggunakan
istana Tarukan.
Walaupun penjemputan kali ini penuh penghormatan dan kemewahan,
misalnya dengan kuda tunggangan istimewa bernama I Gagak dan sebuah
keris milik Dalem Tarukan yang bernama I Pangenteg Rat, Dalem Ketut
tetap menolak permintaan kakaknya itu, sekali lagi dengan alasan belum
mampu memimpin atau menjadi Raja.
Kecewa karena tugasnya tidak berhasil, Kuda Penandang Kajar kembali ke
Tarukan dengan lesu. Di perjalanan beliau disambar burung gagak hingga
destarnya jatuh. Sesampainya di gerbang istana Tarukan, dilihatnya
puncak gelung kuri terpenggal. Hanya Kuda Penandang Kajar yang melihat
demikian, sementara para pengiringnya tidak melihat puncak gelung kuri itu
terpenggal. Pertanda buruk ini terkesan mendalam di hati Kuda Penandang
Kajar, sampai-sampai beliau jatuh sakit. Dalem Tarukan prihatin pada sakit
yang diderita kemenakannya ini.
Sementara itu tersiar berita yang mengagetkan, bahwa para panglima
perang Samprangan merencanakan memerangi Kerajaan Blambangan.
Dalem Tarukan tidak setuju dengan rencana itu, mengingat bahwa Dalem
Blambangan, yaitu ayah Kuda Penandang Kajar, masih saudara sepupu
beliau. Dalem Tarukan berpendapat bahwa rencana itu mempunyai latar
lain, mungkin saja gerakan merebut kekuasaan, yaitu bila prajurit dikerahkan
ke Blambangan, Dalem Wayan akan mudah digulingkan.

Dalem Tarukan cepat mengambil inisiatif untuk mengikat tali persaudaraan
antara Samprangan dengan Blambangan, yaitu dengan menikahkan Kuda
Penandang Kajar dengan putri Dalem Wayan, bernama I Dewa Ayu Muter.
Dengan ikatan tali persaudaraan itu, perang dapat dicegah. Sakitnya Kuda
Penandang Kajar menjadi suatu jalan untuk memohon restu para Dewata.
Jika Dewata mengijinkan pernikahan ini, kesembuhan Kuda Penandang
Kajar menjadi suatu batu ujian. Pertimbangan lain, Dalem Tarukan melihat
bahwa Kuda Penandang Kajar sudah cukup dewasa, dan dari gelagat
sehari-hari nampaknya tertarik kepada I Dewa Ayu Muter.
Terucaplah tegur sapa Dalem Tarukan kepada Kuda Penandang Kajar:
Duhai anakku, segeralah sembuh; ayah berkeinginan mengawinkan anak
dengan I Dewa Ayu Muter. Ternyata permohonan Dalem Tarukan kepada
para Dewata terkabul. Kuda Penandang Kajar segera sembuh dan sehat
seperti semula. Tentu saja Dalem Tarukan sangat bergembira. Kini beliau
merencanakan mewujudkan perkawinan kedua muda-mudi itu.
Untuk meminang tentu saja tidak mungkin, karena posisi Dalem Wayan
sangat lemah. Beliau hampir tidak dapat memutuskan sesuatu. Semua
keputusan diambil oleh para Menteri. Akhirnya dilaksanakanlah perkawinan
secara adat kawin-lari. Awalnya perkawinan itu berjalan lancar, sampai pada
malam hari terjadi hal yang merupakan akhir dari keberadaan Puri Tarukan.
Kedua mempelai yang sedang berbulan madu di peraduan, tewas
berbarengan tertusuk senjata keris. Seorang abdi perempuan pengasuh I
Dewa Ayu Muter di Puri Samprangan melaporkan secara tergesa-gesa
kepada Dalem Wayan bahwa putri beliau satu-satunya , yaitu I Dewa Ayu
Muter, semalam telah tewas di Puri Tarukan terbunuh oleh Ki Tanda
Langlang. Dalem Wayan tentu saja sangat terkejut dan segera memanggil
para menterinya. Seorang panglima perang menyampaikan ceritra yang
lengkap, serta memperkuat keyakinan Dalem Wayan bahwa putri beliau
bersama-sama Kuda Penandang Kajar benar telah tewas ditikam Ki Tanda
Langlang.
Betapa murkanya Dalem Wayan setelah mendapat penjelasan para
Menterinya itu. Segera disuruhlah memukul kentongan dengan suara "bulus"
sehingga para prajurit segera berkumpul di halaman istana. Di saat itu
Dalem Wayan memerintahkan pasukan Dulang Mangap yang dipimpin
Panglimanya Kiyai Parembu, menyerang menghancurkan Puri Tarukan
serta menangkap Dalem Tarukan hidup atau mati. Dengan bersorak gegap
gempita pasukan itu bergegas menuju Puri Tarukan.
Kini diceritakan Ide Bethara Dalem Tarukan di Puri Tarukan. Betapa sedih
dan terkejutnya beliau menyaksikan nasib yang tragis menimpa putra
kesayangannya bersama menantunya yang meninggal di kamar pengantin
justru pada malam pertama yang seharusnya berkesan sangat bahagia.
Beliau sadar bahwa kejadian ini adalah puncak upaya yang sangat keji dari
orang-orang yang ingin menguasai kerajaan Samprangan. Beliau ingin
menyelesaikan masalah ini melalui pembicaraan dengan kakak beliau, tetapi
nampaknya keadaan sudah tidak memungkinkan lagi karena Dalem Wayan
sudah termakan fitnah. Terdengar pula berita bahwa pasukan Dulang
Mangap sedang menuju Puri Tarukan untuk menangkap beliau dan

menghancurkan Puri Tarukan.
Di saat yang berbahaya itu beliau cepat berpikir dan kemudian
dikumpulkanlah semua prajurit Tarukan. Beliau meminta agar bila pasukan
Dulang Mangap datang, prajurit Tarukan menyerah, tidak melawan, dengan
cara membuang senjata dan duduk bersila di tanah dengan posisi kedua
tangan memeluk tengkuk (leher bagian belakang). Beliau juga meminta agar
permaisuri tetap tinggal di istana dan menyerah kepada Dalem Wayan.
Betapa sedih dan pilu hati permaisuri tiada terperikan. Ingin beliau menyertai
Dalem Tarukan pergi ke mana saja, tetapi itu tidak mungkin karena beliau
sedang hamil besar.
Prajurit Tarukan juga tidak mau menyerah begitu saja. Mereka sangat
mencintai Dalem Tarukan dan meminta diijinkan menghadapi pasukan
Dulang Mangap sampai habis-habisan (perang puputan). Dalem Tarukan
tidak mengijinkan. Beliau mengingatkan bahwa masalah ini adalah masalah
pertikaian antar keluarga, yaitu beliau dengan kakak beliau, Dalem Wayan.
Beliau tidak ingin karena pertikaian keluarga ini lalu rakyat yang menjadi
korban sia-sia. Dengan berat hati beliau juga berpesan kepada permaisuri
agar baik-baik menjaga putranya yang masih di kandungan.
Permaisuri tetap berlutut meratapi keputusan Dalem Tarukan. Dalem
Tarukan berusaha menenangkan permaisuri dengan mengatakan bahwa
kejadian ini sudah kehendak Dewata. Kita sebagai manusia tiada daya
menolak kehendak Yang Maha Kuasa. Karena itu pasrahlah; serahkanlah
hidup mati kita kepada-Nya. Setelah itu beliau segera berangkat seorang
diri ke arah utara.
Pasukan Dulang Mangap di bawah Panglimanya Kiyai Parembu dengan
teriakan-teriakan histeris bagaikan serigala haus darah, tiba di Puri Tarukan.
Mereka terheran-heran karena melihat semua pasukan dan rakyat Tarukan
menyerah total tanpa perlawanan, bahkan duduk bersila dengan pandangan
menunduk memandang tanah. Sesuai aturan perang, seorang kesatria tidak
akan membunuh pasukan yang sudah menyerah apalagi tanpa senjata.
Mereka masuk ke istana, memeriksa setiap sudut tetapi tidak menjumpai
jejak Dalem Tarukan. Mereka hanya menemukan permaisuri beliau yang
bersimpuh berurai air mata. Pasukan Dulang Mangap lalu menjarah isi Puri
Tarukan dan membakar sampai habis Puri Tarukan. Para tawanan digiring
ke Puri Samprangan. Kejadian yang memilukan ini terjadi pada tahun 1377
M atau 1299 isaka.
Kiyai Parembu menghadap Dalem Wayan di Puri Samprangan, dan
melaporkan bahwa Dalem Tarukan telah melarikan diri ke arah utara.
Segala hasil jarahan Puri Tarukan diserahkan, dan permaisuri Dalem
Tarukan ditawan di Puri Samprangan. Dalem Wayan memerintahkan Kiyai
Parembu untuk meneruskan pengejaran esok harinya. Kiyai Parembu
menyiapkan pasukan bersenjata sebanyak 2000 orang.
Perjalanan Ide Bethara Dalem Tarukan sejak dari Puri Tarukan, secara
berurut adalah sebagai berikut:

TARODi desa ini beliau tidak lama, hanya lewat saja, kemudian karena
dikejar terus oleh pasukan Dulang Mangap, beliau memutar kembali menuju
desa:
TAMPUWAGANDi suatu tanah persawahan beliau melihat banyak orang
sedang menanam padi. Ada seorang petani yang sedang membuang
kotoran di sungai, dan bajunya ditinggalkan di tepi sungai. Baju itu lalu
diambil oleh Dalem Tarukan, dikenakan, lalu beliau turut serta dengan para
petani menanam padi. Seketika datanglah pasukan Dulang Mangap yang
mengagetkan para petani.
Kiyai Parembu bertanya, apakah para petani melihat Dalem Tarukan di
sekitar situ. Para petani serentak menjawab, tidak melihat siapa-siapa
apalagi Dalem Tarukan. Pasukan Dulang Mangap memeriksa sekali lagi dan
meneruskan pengejaran ke utara. Beberapa saat kemudian si petani yang
selesai membuang kotoran itu bangkit dari sungai, mencari bajunya namun
tidak ditemukan.
Dalem Tarukan berdiri sambil membuka penyamarannya. Seketika para
petani terkesima karena baru kali itu mereka menatap sosok Dalem Tarukan
yang tinggi besar, gagah perkasa, dengan raut wajah yang sangat tampan
namun berwibawa. Kulit kehitaman dan rambut berombak yang panjangnya
sebatas bahu menambah kewibawaan beliau. Para petani sujud
menyembah serta mohon maaf karena tidak mengetahui kehadiran beliau di
antara mereka.
Beliau, Dalem Tarukan menjelaskan secara singkat halangan yang
menimpa, serta berpesan : "wahai kamu sekalian rakyat Tampuwagan,
janganlah lagi kamu me-"cokor I Dewa" terhadapku. Kamu boleh
menyapaku dengan "I Ratu, Gusti atau Jero", karena aku akan tetap
menyamar agar tidak diketahui keberadaanku di sini sehingga bebas dari
pengejaran pasukan kakakku, Dalem Samprangan".
Walaupun tidak rela, para petani itu serempak menyembah beliau dan
merasa iba dengan nasib malang yang menimpa junjungan mereka itu. Dari
Tampuwagan Dalem Tarukan meneruskan perjalanan ke desa:
PANTUNAN Para pengejar yang mendapat informasi bahwa Dalem Tarukan
ada di Desa Pantunan, segera ke sana. Beberapa saat sebelum
kedatangan pasukan Dulang Mangap, Ide Bethara Dalem Tarukan telah
diberi tahu oleh para petani di Pantunan. Beliau lalu bersembunyi di bawah
pohon Jawa dan semak-semak pohon Jali yang tumbuh subur.
Ada sepasang burung perkutut hinggap di atas pohon Jawa tepat di atas
persembunyian beliau seraya berkicau amat merdunya. Ada pula seekor
burung puyuh berkeliaran dekat kaki beliau sambil berkicau. Para pengejar
sudah berada dekat sekali ke pohon Jawa dan Jali tempat persembunyian
beliau. Hampir saja mereka menguakkan semak-semak itu, namun tiba-tiba
seorang pengejar mencegah. "Mana mungkin ada orang di situ, lihatlah
burung-burung itu bertengger dan berkicau dengan tenang; jika ada
manusia mereka sudah pasti terbang menghindar".

Pengejar yang lain membenarkan dan mereka meneruskan perjalanan.
Terhindarlah Ide Bethara Dalem Tarukan dari penangkapan. Beliau lalu
keluar dari semak-semak. Alangkah besar perlindungan Ide Sanghyang
Parama Kawi. Seolah-olah semak-semak dan burung-burung itulah yang
diminta oleh-Nya untuk melindungi beliau.
Di saat itulah dengan terharu beliau berterima kasih kepada semak-semak
dan burung-burung, sehingga terucaplah janji beliau agar seketurunan
beliau tidak membunuh/merusak serta memakan Jawa, Jali, burung
perkutut dan burung puyuh. Di malam hari beliau meneruskan perjalanan ke
desa:
POH TEGEHDi desa Poh Tegeh (kini bernama Desa Suter) bermukimlah
seorang kesatria bernama I Gusti Ngurah Poh Tegeh. Kesatria ini
mempunyai nama/biseka lain yaitu I Gusti Ngurah Poh Landung, atau Kiyai
Poh Tegeh, atau Kiyai Poh Landung, keturunan dari Sri Jayakata, Raja
Tumapel (Jawa Timur) setelah wafatnya Sri Jayakatong. Datang ke Bali
pada tahun 1350 M atau 1272 isaka mengemban tugas mengawal Ide
Bethara Dalem Sri Kresna Kepakisan.
Sudah beberapa hari beliau mendengar berita bahwa Dalem Tarukan
sedang berselisih dengan Dalem Wayan. Tiba-tiba di keremangan sinar
bulan malam itu Kiyai Poh Tegeh terkejut menerima kedatangan Dalem
Tarukan. Sang Kiyai segera menyambut dan bertanya meminta ketegasan,
kenapa Dalem Tarukan datang mendadak, seorang diri tanpa pengiring.
Dalem Tarukan kemudian menjelaskan duduk persoalan selengkapnya dari
awal hingga akhir. Kiyai mendengarkan dengan seksama, kemudian
timbullah rasa ibanya. Kiyai memohon agar Dalem Tarukan tidak ke
mana-mana lagi. Ia mempunyai suatu tempat yang dinamakan pedukuhan
Bunga. Tempat itu dikitari hutan lebat dan jauh dari jalan yang biasa dilalui
manusia. Dalem Tarukan menyetujui dan keesokan harinya beliau ke sana
diiringi Kiyai Poh Landung.
PEDUKUHAN BUNGA Di Pedukuhan Bunga beliau disambut oleh Dukuh
Bunga yang juga menyediakan pondoknya untuk ditinggali Dalem Tarukan.
Dalem Tarukan sangat terharu atas kesetiaan dan keramahtamahan Kiyai
Poh Landung dan Dukuh Bunga beserta keluarga dan seluruh rakyatnya.
Keberadaan beliau di pedukuhan dirahasiakan sehingga Dalem Tarukan
menetap dalam waktu lama dengan tenang. Di sini beliau memperdalam
ilmu kependetaan bersama-sama Dukuh Bunga. Di suatu hari Dalem
Tarukan merasa sedih karena mengenang peristiwa hancurnya Puri
Tarukan. Beliau belum tahu bagaimana nasib permaisuri yang ketika
ditinggalkan sedang hamil tua. Lama beliau termenung. Hal ini diperhatikan
oleh Kiyai Poh Landung.
Kiyai turut prihatin dan memikirkan bagaimana cara menghibur Dalem
Tarukan. Kiyai menemukan jalan dan merencanakan menghaturkan putrinya
yang bernama Ni Gusti Luh Puaji sebagai istri Dalem Tarukan. Beberapa
hari kemudian Kiyai mengusulkan rencananya itu kepada Dalem Tarukan.
Beliau menerima dengan baik usul Kiyai, dengan pertimbangan perlunya

menurunkan "sentana" dan juga menghormati kesetiaan Kiyai Poh Landung.
Pertimbangan yang sama pula disampaikan ketika para pengikut setia beliau
di kemudian hari masing-masing menghaturkan putri mereka sebagai
istri-istri Dalem Tarukan. Secara bertahap berkembanglah keluarga Ide
Bethara Dalem Tarukan sebagai berikut :
NAMA MERTUA
NAMA ISTRI
NAMA PUTRA/PUTRI
Gusti Ngurah Poh Landung
Gusti Luh Puaji
Gusti Gede Sekar, Gusti Gede Pulasari
Dukuh Bunga
Jero Sekar
Gusti Gede Bandem
Dukuh Darmaji
Jero Dangin
Gusti Gede Dangin
Jero Mekel Belayu
Jero Belayu
Gusti Gede Belayu
Gusti Gede Bekung
Gusti Luh Balangan
Gusti Gede Balangan, Gusti Luh Wanagiri
Di pedukuhan Bunga beliau sekeluarga hidup aman, tenteram, dan
berbahagia. Di waktu-waktu senggang beliau menanam berbagai macam
kembang, kacang-kacangan, dan sayur-sayuran. Dengan kelima istri dan
ketujuh putra/putrinya beliau hidup rukun dan damai; bercengkrama,
bersenda gurau, bermain-main di hutan dan mandi-mandi di sungai diselingi
gelak tawa riang putri, si bungsu Gusti Luh Wanagiri.
Ide Sanghyang Parama Kawi yang maha kuasa, telah mengaruniai beliau
putra-putra yang tampan, gagah dengan ciri-ciri khas wibawa
kebangsawanan. Tak kalah dengan si mungil, putri beliau satu-satunya,
tanda-tanda kecantikan yang masih tersembunyi menunggu saat
menyembul di kemudian hari.
Hentikan dulu sejenak cerita di pedukuhan Bunga. Kini diceritakan keadaan
Dalem Wayan di Puri Samprangan. Sudah sekian lama Kiyai Parembu
mengejar Dalem Tarukan ke hutan-hutan dan desa-desa di pegunungan,
tiada kabar berita, membuat Dalem Wayan resah. Dalam hati kecilnya beliau
menyesal telah mengeluarkan perintah yang demikian kejam namun sebagai
seorang Raja tidak mungkin beliau menarik kembali perintah itu.
Kini beliau mengharap semoga adik kandung beliau itu selamat dan untuk
bisa selamat selamanya, diperkirakan Dalem Tarukan telah berhasil
menyeberang ke Jawa, jika benar maka jalan yang terbaik adalah melalui
Desa Kubutambahan di bekas kerajaan Dalem Kesari Marwadewa, yaitu di
Pura Penyusuan.

Rasa kesepian karena tiada saudara sekandung, perasaan bersalah yang
terus menghantui, serta siasat dari para Menteri yang tiada hentinya,
membuat Dalem Wayan tidak bergairah memimpin pemerintahan Kerajaan
Samprangan. Perasaan bersalah Dalem Wayan makin menjadi-jadi setelah
istri Dalem Tarukan yaitu bidadari dari Lempuyang moksah ketika putra yang
dilahirkannya genap berusia 42 hari. Bayi mungil ini dinamai I Dewa Bagus
Dharma. Berhari-hari Dalem Wayan di peraduan saja, tidak beda seperti
orang yang sedang sakit. Para menteri dan petinggi kerajaan yang ingin
menghadap tidak berhasil menemui beliau, sehingga lama kelamaan roda
pemerintahan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Keadaan ini mengkhawatirkan beberapa menteri karena dapat
membahayakan kelangsungan berdirinya kerajaan Samprangan, apalagi
kaum pemberontak dari kalangan Bali Aga masih terus berusaha
menggulingkan kerajaan. Seorang menteri bernama Kiyai Kebon Tubuh
mengambil inisiatif berangkat ke desa Pandak (Tabanan) menjemput Dalem
Ketut Ngulesir untuk memohon beliau bersedia menjadi Raja.
Kiyai berhasil menemui Dalem Ketut di arena sabungan ayam sedang
berwajah lesu karena baru saja kalah bertaruh. Kiyai melaporkan secara
singkat keadaan Dalem Wayan di Puri Samprangan dan peristiwa
menyedihkan yang terjadi di Puri Tarukan.
Sejenak Dalem Ketut termenung membayangkan betapa tragisnya nasib
beliau tiga bersaudara. Kiyai melanjutkan permohonannya agar Dalem Ketut
sudi pulang ke Samprangan untuk memimpin kerajaan Bali Dwipa.
Walaupun Dalem Ketut sudah lama meninggalkan Samprangan, beliau
selalu memantau apa yang terjadi di Puri Samprangan. Permintaan Kiyai
Kebon Tubuh itu memang patut dipertimbangkan demi menjaga
kelangsungan roda pemerintahan, namun bagaimana nanti dengan
kedudukan Dalem Wayan ?
Pemikiran Dalem Ketut itu nampaknya terbaca oleh Kiyai Kebon Tubuh.
Segera ia menawarkan agar Dalem Ketut memerintah dari Gelgel, bukan
dari Samprangan. Dengan kata lain kerajaan seolah-olah sudah dipindahkan
ke Gelgel. Tawaran ini disetujui Dalem Ketut dan segeralah beliau berangkat
ke Gelgel (tahun 1380 M atau 1302 isaka).
Dalem Ketut Ngulesir membangun istana di Gelgel di kebun kelapa milik
Kiyai Kebon Tubuh. Berita ini didengar oleh Dalem Wayan namun tidak
bereaksi karena beliau sudah kehilangan gairah hidup. Para menteri dan
pembantu Raja di Samprangan banyak yang berpindah ke Gelgel atas
kemauan sendiri karena merasa lebih senang mengabdi kepada Dalem
Ketut. Roda pemerintahan diatur dari Gelgel yang telah berganti nama
menjadi Suwecapura. Para Manca yang tinggal di pedesaan dan
pegunungan mendengar berita ini lalu datang menyatakan dukungan dan
kesetiaan kepada Dalem Ketut.
Sementara itu Dalem Wayan makin parah sakitnya dan akhirnya beliau
moksah pada tahun 1383 M atau 1305 isaka. Setelah Dalem Wayan
moksah barulah Dalem Ketut menyelenggarakan upacara penobatan Raja

(biseka Ratu) dengan gelar Ide Bethara Dalem Semara Kepakisan. Segera
setelah Dalem Ketut resmi menjadi Raja, beliau teringat pada kakak beliau,
Dalem Tarukan. Diutuslah Kiyai Kebon Tubuh ke pedukuhan Bunga untuk
meminta Dalem Tarukan kembali ke Tarukan atau ke Suwecapura.
Permintaan ini ditolak beliau karena beberapa pertimbangan antara lain: jika
kembali ke Tarukan, istana ini sudah hancur dan akan mengingatkan
kenangan pahit yang dialami beberapa tahun lampau. Istri beliau yang
dicintai, yaitu bidadari Lempuyang-pun (dijuluki : Dedari Kuning) telah
moksah. Jika ke Suwecapura, walaupun adik beliau Dalem Ketut mau
menerima, belum tentu para menteri dan petinggi kerajaan lain mau juga
menerima dengan baik; sementara itu beliau sudah berbahagia di
pedukuhan Bunga.
Kiyai Kebon Tubuh kembali ke Suwecapura dan melaporkan penolakan
Dalem Tarukan tersebut. Dalem Ketut kecewa karena maksud baik beliau
tidak ditanggapi oleh Dalem Tarukan, namun beliau dapat memahami
pemikiran kakak beliau itu. Dalem Tarukan yang menduga bahwa para
menteri di Suwecapura dan para pengejar dari Samprangan telah
mengetahui tempat persembunyian beliau, lalu memutuskan untuk
meninggalkan pedukuhan Bunga. Berangkatlah rombongan keluarga besar
itu diiringi oleh Dukuh Darmaji dan beberapa rakyatnya menuju desa:
SEKAHAN
Hanya semalam beliau ada di desa Sekahan, kemudian meneruskan
perjalanan ke desa:
SEKARDADI
Di sini beliau beserta rombongan bermalam di pondok kerabat Jero Dukuh
Darmaji selama tiga malam, kemudian meneruskan perjalanan ke desa:
KINTAMANI
Hanya lewat saja, lalu terus menuju desa:
PANARAJON
Di sini rombongan beliau dihembus angin topan sehingga sebelas pengiring
beliau meninggal dunia. Setelah topan reda, rombongan meneruskan
perjalanan ke desa:
BALINGKANG
Merasa aman, di sini beliau tinggal selama tiga bulan; setelah itu rombongan
menuju desa:
SUKAWANA
Dalam perjalanan yang melelahkan ini putri beliau yang berusia 4 tahun,
Gusti Luh Wanagiri menangis karena lapar. Dalem Tarukan lalu bertanya
kepada Dukuh Darmaji apakah membawa makanan. Dukuh menjawab, tidak
membawa makanan, hanya beberapa genggam beras. Dalem Tarukan lalu
tergesa-gesa memberikan beras itu kepada putrinya, karena tidak sempat
lagi memasaknya. Beberapa saat kemudian putrinya sakit perut karena
memakan beras mentah dan akhirnya tidak tertolong. Putri yang dicintainya

meninggal dunia. Betapa sedih beliau dan terucaplah kata-kata beliau: "Ya,
Tuhan betapa besar cobaan yang kami terima, sangat besarlah penyesalan
kami karena seolah-olah memberi jalan kematian putriku. Nah agar hal ini
tidak terulang lagi, wahai semua putra dan semua keturunanku, kelak di
kemudian hari janganlah sekali-kali kalian memakan beras mentah" Setelah
itu Dalem Tarukan lalu meminta Ki Pasek Sikawan mengubur jenazah
putrinya. Karena letak desa Sukawana di sebelah timur bukit Penulisan,
maka agar prabu layon berada di "hulu" dikuburlah jenazah putrinya dengan
kepala di arah barat. Di saat ini terucaplah bisama beliau agar seketurunan
beliau bila meninggal atau di-aben agar kepala berada di arah barat,
sebagai tanda ingat akan peristiwa menyedihkan ini. Dari Sukawana beliau
menuju ke desa:
SIKAWAN
Di desa ini beliau ditemui oleh Ki Pasek Ban dan Ki Pasek Jatituhu. Beliau
sempat beristirahat selama tiga bulan, selanjutnya menuju desa:
PENEK
Tidak menetap, hanya memintas saja, lalu terus ke desa:
BAN (EBAN)
Juga tidak menetap, terus ke desa:
TEMANGKUNG
Tidak menetap, terus ke desa:
CARUCUT
Perjalanan menelusuri pantai; tiba di suatu tempat yang indah beliau
berhenti sejenak. Sudah sekian jauh beliau berjalan baru di situlah merasa
lega dan firasat beliau mengatakan bahwa tempat ini aman dari kejaran
pasukan Dulang Mangap. Beliau lalu membicarakan rencana untuk menetap
di situ. Semua pengikut beliau: Dukuh Darmaji, Ki Pasek Ban, Ki Pasek
Sikawan, Ki Pasek Jatituhu, Ki Pasek Penek, Ki Pasek Daya, Ki Pasek
Temangkung, dan Ki Pasek Sukawana setuju.
Di situlah beliau membuka perkebunan kelapa dan tanaman palawija,
dibantu oleh ratusan rakyat pegunungan yang setia kepada Dalem Tarukan.
Lama-kelamaan makin banyak rakyat dan pemekel dari pulau Bali pesisir
utara yang berdatangan menghaturkan sembah sujud kehadapan beliau dan
tetap menjunjung beliau sebagai Dalem. Dalem Tarukan lalu bersabda:
"kamu semua rakyat pegunungan dan pesisir, aku menerima penghormatan
dan kesetiaanmu, tetapi janganlah kamu me-"cokor I Dewa" kepadaku,
karena kini aku bukanlah seorang Dalem lagi"
Walaupun demikian, rakyat tetap saja menghormati beliau dengan hatur:
"cokor I Dewa" karena tak seorang pun berani mengubah kebiasaan
sebutan. Terkenallah beliau sampai ke perbatasan di arah barat: Desa
Tejakula, di arah selatan: Desa Poh Tegeh, di arah Timur: Desa Ban, (arah
utara : Laut Bali).
Berkat asung kerta nugraha Ide Sanghyang Parama Kawi, hasil perkebunan

beliau melimpah, sehingga lama kelamaan keluarga dan pengiring beliau
kaya raya dan selalu bersuka ria. Maka tempat itu dinamakan Sukadana.
SUKADANA
Ide Bethara Dalem Tarukan sekeluarga beserta para pengiringnya
menikmati kebahagiaan hidup di Sukadana. Namun di suatu saat beliau
terkenang akan putri beliau, yaitu Gusti Luh Wanagiri yang meninggal dan
dikuburkan di Sukawana. Atas usul para pengikutnya yaitu Ki Pasek
Jatituhu, Ki Pasek Bunga, Ki Pasek Darmaji, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Daya,
Ki Pasek Penek, Ki Pasek Temakung, Ki Pasek Sikawan, Dukuh Bunga,
Dukuh Jatituhu, dan Dukuh Pantunan, dilaksanakanlah pelebon putri beliau
secara megah dan besar-besaran.
Lokasi upacara dipilih di Bukit Mangun; pada saat pembakaran, prabu layon
mengarah ke barat. Pemuput upacara adalah: Dukuh Bunga, Dukuh
Pantunan, dan Dukuh Jatituhu. Abu jenazah dipendem di Bukit Mangun.
Selesai upacara pelebon, mereka kembali pulang ke Sukadana. Beberapa
lama kemudian para pengiring beliau menyarankan agar rombongan
kembali ke desa Poh Tegeh, karena desa itu lebih layak dijadikan tempat
menetap.
POH TEGEH
Betapa gembiranya I Gusti Ngurah Poh Tegeh menyambut kedatangan Ide
Bethara Dalem Tarukan setelah sekian lama berpisah. Rombongan besar itu
dijamu secara meriah. Tiba-tiba timbul keinginan Ide Bethara Dalem
Tarukan untuk meneruskan perjalanan ke selatan karena seperti ada firasat
bahwa kemungkinan putra beliau yang beribu dedari Lempuyang masih
hidup dan kini berada entah di mana.
Hal itu disampaikan kepada Kiyai Poh Tegeh. Mula-mula Kiyai mencegah
rencana beliau itu; namun melihat beliau sangat bersemangat, Kiyai
mendukung serta memohon agar Dalem Tarukan sangat berhati-hati di
perjalanan. Beberapa hari kemudian rombongan beliau berangkat menuju
desa:
SIDAPARNA
Di desa ini beliau bertemu dengan beberapa penduduk yang memberikan
informasi bahwa Dalem Ketut yang menggantikan Dalem Wayan,
memerintah di Gelgel secara bijaksana dan semuanya berjalan sangat baik.
Dalem Ketut tidak pernah lagi menanyakan keberadaan Dalem Tarukan.
Demikian pula para prajurit Samprangan yang dahulu mengejar Dalem
Tarukan tidak terdengar lagi kabar beritanya. Dalem Tarukan meneruskan
perjalanan ke:
GUNUNG PENIDA
Di suatu dataran tinggi Dalem Tarukan berhenti. Tempat itu sangat indah
karena diapit oleh dua buah sungai yang sangat jernih airnya. Dikelilingi oleh
hutan yang penuh dengan aneka satwa, ada tanah datar yang luas, cocok
untuk persawahan. Lama beliau termenung menikmati keindahan
pemandangan alami itu. Beliau berpikir, inilah tempat yang sangat sesuai
untuk tempat menetap. Jika meneruskan perjalanan, belum juga tentu ke

mana arahnya; di samping itu anggota rombongan beliau sudah lelah tinggal
berpindah-pindah.
Akhirnya beliau memutuskan menetap di daerah itu. Di sini beliau
membangun pondok-pondok, membuka sawah-ladang, serta menanam
padi, sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan berbagai macam bunga.
Tempat itu oleh penduduk dinamakan Pulasari atau Pulasantun.
Kemudian Ide Bethara Dalem Tarukan menekuni Dharma Kepanditaan yang
menjadi keinginan beliau sejak berada di Tarukan. Keinginan ini seperti
mendarah daging karena leluhur beliau di Majapahit adalah Brahmana,
abiseka Danghyang Kepakisan. Kegiatan kepanditaan di Pulasari
berkembang pesat karena didukung oleh para Dukuh sekitarnya, misalnya
Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan, Dukuh Darmaji, dan lain-lain. Di sela-sela
waktu pemujaan, Ide Bethara Dalem Tarukan tetap bekerja di kebun atau di
sawah sebagai selingan dan kesenangan.
Hentikan dulu sejenak, kini diceritakan keadaan putra Ide Bethara Dalem
Tarukan bernama Dewa Bagus Dharma yang tinggal di Puri Samprangan.
Sejak berusia 42 hari beliau ditinggal ibunda, moksah ke kahyangan. Di saat
membutuhkan air susu, datanglah seekor manjangan putih menyusui beliau
dan kemudian menghilang setelah sang bayi tertidur lelap. Keadaan ini
mengherankan seisi Puri, sehingga yakinlah mereka bahwa sang bayi
benar-benar putra seorang bidadari kahyangan. Ada seorang emban
(pembantu) yang sangat setia merawat sang bayi.
Setelah meningkat usia remaja, Dewa Bagus Dharma bertanya kepada
si-emban, siapa ayah dan ibu beliau. Si-emban dengan berlinang air mata
menceritakan riwayat Ide Bethara Dalem Tarukan. Sejenak beliau tercenung
lalu berucap bahwa ingin menemui ayahanda beliau. Si-emban dengan
berbisik memberitahu: "pergilah I Dewa ke arah pegunungan di utara; jika
bertemu seorang laki-laki tegap, tampan, tinggi, berkulit hitam, rambut
panjang berombak, tanpa baju, berkain hitam dengan saput poleng tanpa
ujung (seperti kain sarung), itulah ayahanda I Dewa".
Tidak menunggu waktu lagi, Dewa Bagus Dharma segera mengambil keris,
lalu berangkat ke arah utara. Tekad beliau sudah mantap; kerinduan
bertahun-tahun, haus kasih sayang, dan "jengah" mendorong beliau segera
ingin bertemu dan tinggal bersama ayahanda baik dalam keadaan suka
maupun duka. Berhari-hari beliau berjalan sambil memperhatikan
orang-orang yang ditemuinya. Tidak satu pun mirip dengan apa yang
diceritakan si-emban. Beliau tidak bertanya kepada siapa pun, karena
perjalanan ini dirahasiakan.
Suatu siang yang panas, tibalah Dewa Bagus Dharma di suatu persawahan
yang luas. Hanya ada satu orang di situ sedang asyik membajak sawah.
Beliau duduk dan kaget melihat orang itu sesuai benar dengan ciri-ciri yang
dikatakan si-emban. Hanya saja orang ini petani; ayahanda yang dicari
adalah seorang Raja. Tidak mungkin seorang Raja membajak sawah.
Sedang berpikir-pikir demikian, tiba-tiba sapi si-"petani" panik lalu lari
tunggang langgang. Peralatan bajak yang ditariknya patah tidak karuan

karena sapi-sapi itu mengamuk ingin melepaskan diri.
Si "petani" heran, kenapa sapinya tiba-tiba menjadi liar tak terkendali. Pasti
ada sesuatu sebab yang membuat sapinya ketakutan, misalnya harimau.
Namun tidak ada harimau di sekitar itu. Yang ada hanya seorang lelaki
remaja dengan sorot mata polos memandang kegaduhan sapi itu.
Si-"petani" yang tiada lain Ide Bethara Dalem Tarukan, menjadi marah
karena mengetahui penyebab sapinya liar adalah silaki-laki itu. Beliau
mendekati remaja itu lalu menghardik: "eh, apa kerjamu di sini, mengganggu
saya serta mengacaukan sapi-sapi saya"
Sang remaja yang disapa dengan keras itu juga marah, sehingga timbul
percekcokan. Kemarahan makin menjadi-jadi akhirnya sama-sama
menghunus keris berkelahi dengan sengit, saling pukul, saling tikam, saling
cekik, saling tindih, berjam-jam lamanya tidak ada yang terluka, sampai
kehabisan tenaga, sama-sama duduk bersebelahan. Dalem Tarukan heran
karena remaja ini kebal tubuhnya, ditikam tidak tergores apalagi luka. Beliau
lalu bertanya: "hai anak muda, siapa sebenarnya anda, dari mana, mau ke
mana dan apa kerjamu di tengah hutan ini seorang diri" Dewa Bagus
Dharma lalu menjawab: "saya bernama Dewa Bagus Dharma, dari Puri
Samprangan, tiba di hutan ini hendak mencari ayah saya bernama Ide
Dalem Tarukan, yang menurut informasi tinggal di sekitar daerah ini"
Mendengar itu, Ide Bethara Dalem Tarukan terkejut bagaikan disambar petir.
Dipandangnya wajah pemuda itu; ya Tuhan, Sanghyang Parama Kawi,
wajahnya bagaikan pinang dibelah dua dengan anakku I Sekar. Beliau tak
kuasa membendung air mata haru; dipeluknya pemuda itu seraya mengusap
kepalanya: "anakku Dewa Bagus Dharma, Ide Sanghyang Parama Kawi
maha agung dan maha pemurah, hari ini aku dipertemukan dengan anak
kandungku yang bertahun-tahun aku rindukan; nanak, ini ayahmu yang
kamu cari itu"
Sampai di situ Ide Bethara Dalem Tarukan tidak lagi berkata-kata; rongga
dada beliau sudah penuh sesak dengan keharuan tiada tara. Tak berbeda
dengan Dewa Bagus Dharma, tak kuasa beliau mengucapkan kata-kata;
hanya perkataan: "aji, aji, aji" seraya mengeratkan pelukannya sambil
bersimbah air mata. Lama kedua insan itu saling melepas kerinduan dan
kehangatan ayah-anak sambil menceritakan riwayat masing-masing.
Beberapa saat kemudian datanglah putra-putra Ide Bethara Dalem Tarukan,
yaitu Gusti Gede Sekar dan Gusti Gede Pulasari bermaksud menjemput
ayahanda beliau pulang ke pedukuhan. Ide Bethara Dalem Tarukan dengan
gembira mempertemukan ketiga saudara kandung buah hatinya itu. Mereka
lalu pulang ke pedukuhan Pulasari dengan suka cita. Gemparlah pedukuhan
Pulasari atas kedatangan penghuni baru yang tampan seperti kembarannya
Gusti Gede Sekar, namun usianya sedikit lebih dewasa. Malam hari
pertemuan itu dirayakan dengan meriah, makan, minum, menari, dan
menyanyi. Ketujuh bersaudara lelaki, putra-putra Ide Bethara Dalem
Tarukan asyik berbincang sampai larut malam. Akhirnya kantuk membawa
mereka ke alam mimpi yang indah. Dewa Bagus Dharma sudah sejak awal
memutuskan tinggal menetap bersama-sama ayah, para ibu dan
saudara-saudaranya di Pulasari.

Kini dilanjutkan dahulu kisah tentang Kiyai Parembu. Kiyai dengan gigih
mentaati perintah Dalem Wayan mengejar Dalem Tarukan ke hutan-hutan
pegunungan sebelah utara. Disertai putranya bernama Kiyai Wayahan
Kutawaringin, pasukan Dulang Mangap menyelusup menyelidiki dan
mencari persembunyian Dalem Tarukan, namun tidak pernah berhasil.
Kadangkala ada yang memberikan informasi lokasi persembunyian beliau,
tetapi ternyata informasinya menyesatkan. Arah pencarian Kiyai menuju
gunung Tulukbiyu, lalu bertemu dengan Jero Dukuh Sekar. Ketika ditanya,
Jero Dukuh berlaku pikun serta memberi jawaban sekenanya. Dengan
perasaan kesal dan putus asa Kiyai meneruskan pencariannya tanpa arah
yang jelas. Tiba di suatu tempat Kiyai duduk di bawah pohon tua yang
rindang. Perasaan Kiyai tidak menentu: kesal, malu, merasa tak berharga
karena tidak dapat menunaikan tugas, walaupun sudah diupayakan dengan
sekuat tenaga.
Pasukan Dulang Mangap terpecah dua; sebagian besar sudah kembali ke
Gelgel karena mendengar Dalem Ketut sudah bertahta di Gelgel. Kini
pasukannya bersisa empat puluh orang. Hanya itulah yang masih setia
mengikuti, namun sudah ada tanda-tanda mereka jemu dan kepayahan.
Kiyai merenung dan timbul pikirannya yang terang. Ditanyailah dirinya
sendiri, apa sebenarnya manfaat tugas yang diembannya bagi kerajaan.
Bukankah perintah Dalem Wayan hanya sebuah perintah emosional yang
menuruti kemarahan sesaat ? Di samping itu berita yang didengar,
seolah-olah Dalem Wayan sudah digeser kedudukannya oleh Dalem Ketut.
Lalu untuk siapa kini ia mengabdi ? Tetapi jika melalaikan tugas bukankah ia
sudah banyak berhutang budi kepada Dalem Wayan ? Kebingungan pikiran
Kiyai rupanya diketahui oleh putra dan para pengikutnya.
Seorang pembantunya memberanikan diri menyampaikan pendapat sebagai
berikut : "ya, paduka Gusti, hamba mengerti bahwa hati tuan kecewa karena
tidak berhasil mencari Dalem Tarukan. Namun jika tuan berkenan, hamba
menghaturkan pendapat bahwa Ida Sanghyang Widhi Wasa telah
melindungi Ide Bethara Dalem Tarukan sehingga beliau terhindar dari mara
bahaya. Hidup dan mati semuanya ada di tangan-Nya; jika belum
diperkenankan, apapun upaya manusia untuk membunuh sesama manusia
tidak akan terlaksana. Oleh karena itu janganlah paduka menyesali diri
terlampau berkepanjangan. Sebaiknya putuskanlah apa yang akan kita
lakukan sekarang"
Mendengar ucapan pembantunya demikian, mantaplah hati Kiyai Parembu;
segera ia bangkit berdiri seraya berkata: "Hai kamu sekalian, memang benar
seperti apa yang dikatakan temanmu ini; tidak ada yang dapat melawan
kehendak Ide Sanghyang Widhi, hanya Beliau yang kuasa mengatur soal
hidup atau mati. Perasaan kita saat ini sama, yaitu rasa malu yang menusuk
hati karena tidak dapat menyelesaikan tugas. Karenanya aku telah
memutuskan tidak kembali ke Gelgel. Kita menetap di sini saja membuka
lembaran sejarah baru; siapa yang setuju boleh mengikuti saya; yang tidak
setuju silahkan kembali ke Gelgel" Para pengikutnya serempak menjawab
setuju. Tidak seorangpun berniat kembali ke Gelgel. Dengan riang gembira
mereka bersama-sama membangun pedesaan kecil, membuka sawah
ladang dan hidup sebagai petani. Desa itu dinamakan Bugbug Tegeh.

Adanya desa baru cepat tersiar ke desa-desa sekitarnya. Kiyai Poh Tegeh
lalu mengirim utusan mengundang Kiyai Parembu. Kiyai Parembu merasa
khawatir, karena tahu bahwa Kiyai Poh Tegeh memihak Dalem Tarukan.
Semalam suntuk Kiyai Parembu berunding dengan putranya, Kiyai Wayahan
Kutawaringin apakah akan memenuhi undangan itu atau menolak. Hingga
larut malam belum ada keputusan, sampai keduanya tertidur kelelahan.
Kiyai Wayahan Kutawaringin bermimpi ditemui seorang bidadari yang cantik
jelita, bahkan bercengkrama mesra di sebuah taman yang indah.
Keesokan hari mimpi itu diceritakannya kepada sang ayah. "Wah itu
pertanda baik, mari kita segera berangkat ke Poh Tegeh" Menjelang sore
mereka berdua tiba di Poh Tegeh, disambut dengan ramah oleh seorang
gadis cantik yang kebetulan melintas di depan pemedal. Bagaikan dipukul
palu godam detak jantung Kiyai Wayahan Waringin memandang kecantikan
gadis itu. Bagaimana mungkin, bidadari yang diimpikan semalam berwujud
persis dia.
Sedang terkesima demikian tiba-tiba tegur sapa Kiyai Poh Tegeh
menyadarkan Kiyai Wayahan Kutawaringin. "Adinda Kiyai Parembu, betapa
bahagianya kakanda hari ini karena dinda bersedia memenuhi undangan"
Kiyai Parembu menjawab : "ya kakanda, maafkanlah dinda karena baru kali
ini dapat berjumpa; dinda merasa seperti manusia yang tidak berharga dan
tak berguna sehingga kelahiran dinda sia-sia belaka. Dinda tidak dapat
mengemban tugas sebagai seorang kesatria sejati. Seharusnya dinda
bunuh diri saja karena tiada tahan menanggung malu" Wajah Kiyai
Parembu sedih memelas; cepat Kiyai Poh Tegeh menjawab: "dinda, Kiyai
Parembu, tidak seorang pun akan menyalahkan serta merendahkan dinda,
karena Ide Bethara Dalem Tarukan dilindungi Sanghyang Widhi. Sadarlah
dinda, beliau berdua kakak beradik bertikai karena diadu domba oleh pihak
lain. Janganlah dinda turut memihak dalam pertikaian itu karena tidak
direstui Yang Maha Kuasa. Sebagai seorang kesatria, ingatlah selalu riwayat
leluhur kita yaitu Sri Jayakata dan Sri Jayawaringin ketika dilarikan ke
Tumapel setelah gugurnya Sri Jayakatong. Bukankah leluhur Ide Bethara Sri
Kresna Kepakisan yang menyelamatkan leluhur kita ? Dan kedatangan
leluhur kita ke Bali-pun mengiringi Dalem Sri Kresna Kepakisan.
Jadi kita harus tetap berbakti kepada sentanan Dalem Sri Kresna
Kepakisan, dalam hal ini baik Dalem Wayan maupun Dalem Tarukan
sama-sama kita hormati. Kini keadaan berubah; Dalem Ketut sudah
memimpin kerajaan. Oleh karena itu untuk apa dinda masih terus memburu
Dalem Tarukan ? Keputusan dinda untuk menetap di Bugbug Tegeh kanda
hargai sebagai suatu keputusan yang bijaksana"
Mendengar wejangan Kiyai Poh Tegeh seperti itu legalah perasaan Kiyai
Parembu. Mereka lalu bersantap malam dan berbincang-bincang dengan
gembira sampai larut malam. Tiba waktunya tidur, Kiyai Parembu bersama
putranya disilahkan menempati ruangan yang telah disediakan. Sekali lagi
Kiyai Wayahan Kutawaringin bertemu pandang dengan gadis yang sore tadi.
Goyah rasanya lutut beliau karena tak kuasa menahan dentuman api
asmara yang melesat dari kerlingan si gadis.

Kiyai Poh Tegeh segera mengenalkan gadis itu kepada Kiyai Wayahan
Kutawaringin seraya berkata : "nanak Winihayu Luh Toya, ini masih saudara
sepupumu bernama Kiyai Wayahan Kutawaringin. Ini ayahnya bernama
Kiyai Parembu" Si gadis mengangguk manja terus menghilang di balik pintu.
Malam itu Kiyai Wayahan tidur gelisah sampai ayam berkokok
menjagakannya. Setelah berpamitan berangkatlah kedua si ayah dan anak
itu pulang ke Bugbug Tegeh. Di perjalanan, Kiyai Wayahan tiada
henti-hentinya berbisik di hati: "dinda Winihayu apakah dinda merasakan
apa yang terpendam di hatiku" Hingga beberapa hari setibanya di Bugbug
Tegeh, Kiyai Wayahan terus saja terkenang pada Winihayu. Hal ini diketahui
oleh ayahnya.
Singkat cerita lama kelamaan diketahui bahwa Winihayu sama-sama jatuh
cinta juga kepada Kiyai Wayahan. Kedua orang tua-tua lalu berunding,
akhirnya terjadilah pernikahan Kiyai Wayahan Kutawaringin dengan
Winihayu Luh Toya. Dari perkawinan ini lahir dua orang putra, yaitu: Kiyai
Panida Waringin, meninggal dunia pada usia muda, dan Kiyai Tabehan
Waringin yang kelak di kemudian hari melanjutkan keturunan warga Arya
Kutawaringin. Pernikahan antara Kiyai Wayahan Kutawaringin dengan
Winihayu Luh Toya menyebabkan Kiyai Wayahan ber-ipar dengan Dalem
Tarukan, karena sama-sama menikahi putri-putri Kiyai Poh Tegeh.
Karena hubungan kekeluargaan inilah menambah "kemalasan" Kiyai
Parembu untuk mengejar Dalem Tarukan. Patutlah dipuji strategi Kiyai Poh
Tegeh yang selalu berupaya menyelamatkan Dalem Tarukan.
Kembali diceritakan keadaan beliau, Ide Bethara Dalem Tarukan di desa
Pulasari. Tidak ada lagi pasukan yang mengejar-ngejar beliau, sehingga
kehidupan beliau aman tentram. Beliau meningkatkan ilmu kepanditaan,
sampai akhirnya mampu menjadi nabe bagi para dukuh yang setia mengikuti
beliau, yaitu: Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan, Dukuh Jatituhu, Dukuh
Darmaji, Ki Pasek Bunga, Ki Pasek Daya, Ki Pasek Jatituhu, Ki Pasek
Pemuteran, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Penek, dan Ki Pasek Sikawan.
Kepada para putranya beliau memberikan bisama sebagai berikut:
"Putra-putraku, dengarkanlah bisama yang aku berikan kepadamu dan
segenap keturunanmu kelak di kemudian hari: Jika kamu meninggal dunia
dan diupacarai ngaben (pelebon), dibenarkan kalian menggunakan busana
sesuai dengan tata-cara sebagai seorang Raja beserta dengan segala
upacaranya, paling kecil menggunakan pemereman berupa padma
terawang, atau bade bertumpang tujuh, menggunakan banusa dengan galar
dari bambu kuning, tumpang salu dari bambu kuning, ma-ulon, ma-jempana,
kajang Pulasari, daun pisang kaikik, bale gumi berundak tujuh, bale
silunglung, damar kurung, serta upacara ngaskara selengkapnya.
Selain itu janganlah menerima panggilan "cai", tetapi terimalah panggilan :
Jero, Gusti dan Ratu. Bisama ini aku berikan kepadamu karena kamu
adalah keturunanku, keturunan Dalem" Pemberian bisama itu disaksikan
oleh para Dukuh dan para Pasek yang disebutkan di atas. Mereka
menyatakan akan selalu mentaati dan menjaga terlaksananya bisama itu.
Tiada berapa lama setelah memberikan bisama, Ide Bethara Dalem Tarukan

sakit selama tiga bulan lalu meninggal dunia pada hari Kamis Kliwon, wara
Ukir, panglong ping pitu, sasih kedasa, isaka 1321 atau bila dengan
kalender Masehi, pada hari Kamis, bulan April tahun 1399 M. Jika
diperkirakan beliau lahir pada tahun 1352 M (dua tahun setelah ayahanda :
Dalem Sri Kresna Kepakisan menjadi Raja Samprangan) maka Ide Bethara
Dalem Tarukan meninggal dunia pada usia 47 tahun.
Upacara pelebon Ide Bethara Dalem Tarukan dilaksanakan di setra
Tampuwagan pada hari Sabtu, Pahing, wuku Warigadean, panglong ping
pitu, sasih Jiyesta, rah tunggal, tenggek kalih, isaka 1321, atau bila dengan
kalender Masehi, pada hari Sabtu, bulan Juni tahun 1399 M. Manggala dan
pemuput karya upacara pelebon adalah : Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan,
Dukuh Jatituhu, Kiyai Poh Tegeh, Ki Pasek Pemuteran, Ki Pasek Penek, Ki
Pasek Temangkung, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Sikawan, Ki Pasek Bunga, Ki
Pasek Jatituhu, dan I Gusti Ngurah Kubakal.
Tata laksana pelebon sebagai Raja, yaitu: pemereman bade tumpang pitu,
petulangan lembu nandaka ireng ditempatkan dengan kepala di arah Barat,
tirta pemuput dari Besakih, sulut pembakaran memakai keloping nyuh
gading, kayu bakar memakai kayu cendana. Setelah itu abu tulang
dihanyutkan di sungai Congkang. Sebulan kemudian diadakan upacara
meligia di mana abu "sekah" dipendem di cungkup sebuah Pura yang
dibangun sebagai Pedarman Ide Bethara Dalem Tarukan. Berhubung sudah
disucikan sebagai Bethara Raja Dewata, maka sejak saat meligia itu beliau
amari aran (berganti gelar) menjadi : Ide Bethara Dalem Tampuwagan
Mutering Jagat.
Selama berlangsungnya upacara pelebon dan meligia, tiada henti-hentinya
seluruh rakyat pegunungan mulai dari perbatasan barat: Bondalem
(Buleleng), perbatasan timur: Tianyar (Karangasem), perbatasan selatan:
Pantunan (Bangli) menghaturkan uang kepeng bolong dan bahan-bahan
"lebeng-matah" sebagai tanda bakti, setia, hormat, dan duka cita karena
ditinggalkan junjungan mereka. Aturan berupa makanan langsung disantap
oleh para putra, para Ibu, keluarga, serta semua yang hadir. Karena terlalu
banyak sampai tidak habis dimakan, dibiarkan membusuk sehingga
menimbulkan bau tidak sedap.
Setelah semua rangkaian upacara selesai, bau busuk dari sisa-sia
makanan, beras, uang kepeng bolong dan lain-lain makin menjadi-jadi, tidak
tahan menciumnya. Para putra lalu memerintahkan rakyatnya membuang ke
sungai, sampai air sungai itu berubah seperti bubur. Uang kepeng bolong
yang dihanyutkan menyangkut menutupi sumber mata air sungai. Rakyat
yang tinggal di hilir terheran-heran melihat air sungai berubah seperti bubur;
banyak yang mengambil nasi, tumpeng, beras itu untuk diberi makan anjing
atau babi.
Di sungai lainnya rakyat menemukan uang kepeng bolong yang sudah
bergumpal-gumpal berkarat tidak bisa digunakan lagi. Ide Bethara di sorga
loka melihat dengan sedih kejadian itu. Turunlah kutukan beliau sebagai
berikut: "Wahai para putraku, kalian telah menyia-nyiakan anugerah
dewata; maka kini terimalah kutukanku, mudah-mudahan kalian seketurunan

tidak akan menjadi kaya atau berkecukupan. Bila ada yang bisa kaya,
umurnya pendek lalu kematian menjemput sehingga keturunannya menjadi
miskin kembali" Para putra yang mendengar kutukan itu kebingungan dan
menyesali perbuatannya, namun apa hendak dikata karena itulah kehendak
Ide Sanghyang Widhi Wasa. Dengan perasaan tak menentu para putra
kembali ke pedukuhan Pulasari memulai hidup baru.
Aliran sungai yang berlimpah bubur dan uang kepeng bolong itu menuju ke
Kerajaan Suwecapura. Rakyat gempar berhari-hari, lalu menamakan kedua
sungai itu masing-masing : Tukad Bubuh dan Tukad Jinah. Berita ini sampai
ke istana Dalem Ketut (Dalem Sri Semara Kepakisan). Tahulah beliau
bahwa kakak beliau telah meninggal dunia dan di-pelebon di pegunungan.
Sedih hati beliau mengenang nasib Ide Bethara Raja Dewata yang
sebahagian besar hidupnya dihabiskan di pengungsian. Beliau Dalem Ketut
ingin memelihara putra-putra Ide Bethara Raja Dewata yang jelas masih
kemenakannya sendiri.
Keesokan harinya dipanggillah Kiyai Kebon Tubuh lalu ditugaskan
menjemput para kemenakan beliau itu ke hutan-hutan di pegunungan untuk
diajak ke Gelgel. Disertai pengikut 50 orang, berangkatlah Kiyai Kebon
Tubuh menuju utara. Setelah menempuh perjalanan berhari-hari, sampailah
Kiyai di pedukuhan Pulasari. Kiyai berdatang sembah kepada para putra:
"Mohon ampun, paduka para putra Dalem, hamba diutus oleh Paman
paduka, Sri Aji Semara Kepakisan untuk menjemput paduka sekalian diajak
pulang ke istana Suwecapura"
Para putra yang dipimpin oleh putra tertua : Dewa Bagus Dharma ragu-ragu
pada kebenaran maksud baik dari ucapan sang Kiyai. Bertahun-tahun para
putra menghadapi kenyataan bahwa ayahanda beliau dimusuhi oleh
saudara sekandung beserta menteri dan rakyat kerajaan, kini tiba-tiba ada
utusan yang bernada membujuk menjanjikan kebaikan budi. Bukankah ini
suatu perangkap untuk mencelakakan para putra sehingga jika dapat, agar
musnahlah keturunan Ide Bethara Raja Dewata.
Berpikir demikian, Dewa Bagus Dharma kemudian menolak permintaan
sang Kiyai seraya menyatakan bahwa beliau beserta adik-adik tidak akan
meninggalkan pedukuhan Pulasari. Kiyai Kebon Tubuh tidak berhasil
membujuk para putra, lalu kembali ke istana Suwecapura. Betapa duka hati
Dalem Ketut mendengar laporan Kiyai Kebon Tubuh; dimintanya Kiayi
mengulangi kunjungan ke Pulasari membujuk para putra agar mau pulang
ke Suwecapura.
Walaupun sampai tiga kali utusan ini pulang balik, para putra tetap tidak
mau datang ke Suwecapura. Ini menimbulkan kemarahan Dalem Ketut,
sehingga keluarlah perintah beliau untuk menangkap para kemenakan
beliau dibawa paksa pulang ke Suwecapura. Kiyai Kebon Tubuh lalu
mengerahkan prajurit dalam jumlah besar dengan persenjataan lengkap.
Tidak kurang dari 2000 prajurit dibawa serta, namun bukan dari pasukan
Dulang Mangap.
Sementara itu pihak para putra yang dipimpin oleh Dewa Bagus Dharma

telah mengetahui gerakan musuh yang menjalar bagaikan ular besar dari
arah selatan. Kakek beliau, I Gusti Poh Tegeh bersama kerabatnya yaitu I
Gusti Ngurah Kubakal mempersiapkan pertahanan rakyat di desa Pesaban,
Tembuku, dan Timuhun. Perang besar yang tidak seimbang berkecamuk
dengan dahsyat, membawa korban banyak di pihak pasukan I Gusti Poh
Tegeh. Dapat dimaklumi karena pasukan ini bukan prajurit terlatih, hanya
bermodalkan semangat dan kesetiaan yang tinggi kepada ratunya.
Mayat-mayat yang jatuh ke sungai hanyut ke hilir akhirnya sampai ke
perbatasan kota Gelgel.
Dalem Ketut mendengar berita banyaknya korban rakyat biasa dalam
peperangan di pegunungan. Beliau lalu memerintahkan menghentikan
peperangan dan menarik pasukan Kiyai Kebon Tubuh kembali ke Gelgel.
Dalem Ketut menulis surat kepada I Gusti Poh Tegeh dibawa oleh utusan
beliau, sekali lagi Kiyai Kebon Tubuh bersama seorang Bendesa. Surat itu
diterima oleh I Gusti Poh Tegeh lalu dibaca di hadapan I Gusti Ngurah
Kubakal, dan I Gusti Ngurah Puajang: "Wahai kamu sekalian para Pasek di
pegunungan, serahkanlah para kemenakanku itu untuk aku asuh di Gelgel,
semata-mata karena belas kasihanku dan kerinduan serta keinginanku
untuk memelihara mereka sebagaimana layaknya para ratu keturunan
Dalem; peperangan hanya akan merugikan kita sendiri karena banyak
rakyat yang menjadi korban"
I Gusti Poh Tegeh berkata bahwa beliau masih akan membicarakan hal ini
kepada para putra, dan sementara agar Kiyai Kebon Tubuh pulang lebih
dahulu ke Gelgel; mungkin beberapa hari lagi beliau akan menyusul
mengantarkan para putra ke Gelgel. Gusti Poh Tegeh ingin memenuhi
perintah Dalem Ketut karena berpendapat bahwa maksud Dalem Ketut
sungguh-sungguh baik, namun perlu beberapa hari untuk meyakinkan
pendapatnya kepada para putra, terutama Dewa Bagus Dharma sebagai
putra tertua.
Sepulangnya Kiyai Kebon Tubuh, Gusti Poh Tegeh memanggil para putra
Ide Bethara Dalem Tampuwagan (d.h. Ide Bethara Dalem Tarukan) seraya
menyampaikan isi surat Dalem Ketut. Para putra belum sanggup memberi
persetujuan hari itu karena masih merasa khawatir akan masa depan
mereka di Gelgel sementara mereka sudah betah dan berbahagia tinggal di
pegunungan. Gusti Poh Tegeh mempersilahkan para putra untuk berpikir
beberapa hari agar mendapat pertimbangan yang matang sebelum
mengambil keputusan.
Namun tiba-tiba tanpa diduga sama sekali datanglah gelombang serangan
yang dahsyat dari para Manca Badung dipimpin oleh I Gusti Gede Kaler
disertai Arya Kenceng, Ngurah Mambal, Ngurah Menguwi, dan I Gusti
Ngurah Telabah. Gerakan ini sangat mengejutkan dan mengherankan para
tokoh pegunungan seperti Gusti Poh Tegeh serta para kerabatnya. Beliau
cepat berpikir bahwa gerakan ini bukan perintah Dalem Ketut, melainkan
gerakan para arya yang merasa khawatir bila para putra Dalem
Tampuwagan kembali ke Gelgel pasti akan diberi kedudukan sebagai
Manca yang akan berakibat kedudukan mereka tergeser. Jadi tujuan
serangan kali ini adalah membunuh para putra. Naluri jiwa kesatria Gusti

Poh Tegeh bangkit lalu bersama para kerabatnya memimpin perang
mempertahankan dan melindungi para putra. Perang berkecamuk seru
berhari-hari, namun segera terlihat kekuatan yang tidak seimbang. Pasukan
bertahan yang dipimpin I Gusti Agung Bekung bersama Dewa Bagus
Dharma dipukul mundur meninggalkan mayat prajurit sekitar 5000 orang.
Pada suatu pagi hari di saat hujan rintik-rintik dan matahari baru bersinar
terang-terang tanah gugurlah Dewa Bagus Dharma, putra tercinta Ide
Bethara Dalem Tampuwagan. Para Kakek, adik-adik beliau serta seluruh
rakyat pegunungan berduka cita sedalam-dalamnya. Beliau sebenarnya
mempunyai ilmu kekebalan tubuh pembawaan sejak lahir, namun di saat
fajar kekebalan itu sirna sementara; rupanya kelemahan ini diketahui
musuh. Beliau direbut berpuluh-puluh prajurit I Gusti Gede Kaler di saat
fajar. Tempat gugurnya diberi nama Siang Kangin. Di situ pula layon beliau
diupacarakan dan distanakan pada pelinggih yang dibangun, selanjutnya
dinamakan Pura Siang Kangin.
Sejak gugurnya Ide Bethara Siang Kangin, rakyat pegunungan menderita
kekalahan terus-menerus dalam peperangan. Untuk mencegah korban yang
lebih banyak maka para pemimpin rakyat pegunungan berunding lalu
mengambil keputusan untuk menyelamatkan para putra Ide Bethara Dalem
Tampuwagan. Cara menyelamatkan para putra disepakati sebagai berikut :
Gusti Gede Sekar dan Gusti Gede Pulasari diiringi ibunda beliau Gusti Luh
Puwaji beserta empat orang saudaranya ke Puri Gelgel meminta
perlindungan Dalem Ketut. Gusti Gede Bandem pergi ke Desa Keling
(Karangasem). Gusti Gede Belayu berangkat kearah Tabanan, menetap di
suatu tempat yang kini bernama Desa Belayu. Gusti Gede Balangan
menetap di Desa Pantunan atas jaminan keselamatan dari Gusti Agung
Pasek Gelgel. Gusti Gede Dangin atas permintaan beliau, tidak mau turut ke
Gelgel, lalu berangkat menuju daerah Den Bukit (Buleleng) diiringi rakyat 12
orang, menuju Desa Sudaji. Demikianlah keenam bersaudara itu berpisah
menuju tempatnya masing-masing. Sedih dan pilu hati mereka karena harus
berpisah dan meninggalkan kampung halaman, namun pasrah
menyerahkan nasibnya kepada Ide Sanghyang Widhi Wasa.
Setibanya Gusti Gede Sekar dan Gusti Gede Pulasari di Puri Gelgel,
langsung menghadap Dalem Ketut Sri Semara Kepakisan. Betapa
gembiranya Dalem Ketut menerima kemenakan-kemenakan beliau, namun
terasa agak kecewa karena tidak semua kemenakannya mau hadir. Tetapi
akhirnya beliau maklum setelah mendapat penjelasan dari Gusti Agung
Pasek Gelgel bahwa keputusan untuk menuju tempat masing-masing sudah
dipertimbangkan dengan baik. Dalem Ketut kemudian memberikan
penugrahan kepada para kemenakannya sebagai berikut:
"Kemenakanku semua, janganlah kalian menyamai (memadai)
kedudukanku, karena kalian keturunan Kesatria yang telah diturunkan
wangsanya dan kini menjadi Wesia Dalem. Sebab-sebab diturunkan
wangsamu karena peristiwa di Puri Tarukan yang melibatkan kakakku Ide
Bethara Dalem Tampuwagan. Di kemudian hari bila kalian dan keturunanmu
melaksanakan upacara pelebon dibolehkan menggunakan tata-cara
seorang Raja karena kalian masih menjadi satu keturunan denganku.

Cuntaka hanya tiga malam sebagaimana halnya wangsa Brahmana,
Kesatria (para Ratu). Setelah cuntaka habis segeralah mebersih di mata
air, selanjutnya ngayab banten pebersihan; setelah itu barulah kembali
kesucianmu. Jika kalian berani menyamai kedudukanku, akan kukutuk
kalian tiga kali. Hal lain yang harus kalian ingat, janganlah melupakan
Pura-pura kahyangan jagat di seluruh Bali, serta janganlah mensia-siakan
para Pendeta/Sulinggih dan orang-orang suci agar jagat Bali selalu trepti.
Janganlah kalian melakukan hubungan suami istri di luar pernikahan karena
perbuatan itu akan membawa kehancuran sehingga orang-orang Bali tidak
lagi bersatu. Peringatan-peringatanku ini berlaku seterusnya sampai ke anak
cucu keturunanmu selanjutnya. Bila ada yang melanggar mudah-mudahan
menemui bencana dalam hidupnya"
Setelah berlalu beberapa masa, datanglah seorang keturunan Ide Bethara
Hyang Genijaya dari Majapahit bernama Sangkul Putih bersama istri dan
para putranya. Beliau mendarat di Padang lalu langsung ke Puri Gelgel
menghadap Dalem Ketut. Bertepatan saat itu Ide Dalem Ketut sedang
memberikan penugrahan kepada para putra Ide Bethara Dalem
Tampuwagan yang kali ini hadir secara lengkap, yaitu: Gusti Gede Sekar,
Gusti Gede Pulasari, Gusti Gede Bandem, Gusti Gede Belayu, Gusti Gede
Balangan, dan Gusti Gede Dangin, sehingga Sangkul Putih turut
mendengarkan wejangan beliau sebagai berikut: "Wahai para kemenakanku
semua, kini lanjutkan penugrahan yang telah kuberikan beberapa waktu
yang lalu sebagai berikut: Jika kalian memahami tentang kemoksan
seharusnya kalian menjadi seorang Sulinggih karena kalian adalah
seketurunan denganku, yaitu keturunan Brahmana.
Oleh karena itu pula kalian harus selalu berbakti di Kahyangan Brahmana di
Tolangkir (Besakih) jangan melewatkan upacara-upacara di sana sekalipun.
Jika kalian melupakan, kukutuk kalian menjadi orang Sudra dan kalian tidak
lagi menjadi seketurunan denganku. Demikian juga kalian harus berbakti di
Kahyangan Ide Bethara Hyang Genijaya yang ada di Lempuyang dan di
Tolangkir sesuai sabda Ide Bethara Brahma. Jika kalian melalaikan
peringatanku ini mudah-mudahan hidupmu susah senantiasa kekurangan,
kesasar tidak menemukan arah hidup. Kalian adalah keturunan Brahmana,
maka bila meninggal dunia, layon harus dibungkus oleh daun muda pisang
gedang Kaikik sebab ketika leluhur kita lahir beliau dialasi oleh daun muda
pisang gedang Kaikik. Jika tidak demikian kalian dan keturunan kalian bukan
warih Dalem.
Selanjutnya beliau Dalem Ketut bersabda : "Apa yang aku anugrahkan
kepadamu tadi dan selanjutnya ini adalah wahyu dari Ide Bethara Hyang
Genijaya yang berstana di Lempuyang. Kalian para kemenakanku,
janganlah lupa memuja dan memohon anugrah kepada Ide Bethara di
Penataran Agung, Tolangkir, juga kepada I Ratu Pande, I Ratu Gede
Penyarikan, serta nuntun para arwah leluhurmu untuk distanakan di tempat
keturunanmu. Taatlah melaksanakan kedharmaan, jangan menentang
peraturan-peraturan. Diantara keturunan-keturunanmu janganlah satu sama
lain tiada mengakui bersaudara, paling tidak mengaku memisan atau
memindon. Di mana pun kamu berada tetaplah mengaku bersaudara; jika
lupa atau tidak mengakui saudara, mudah-mudahan kamu kehilangan

"soda", yaitu selalu kekurangan makanan dan minuman.
Beberapa waktu kemudian, Ide Dalem Ketut kembali mengumpulkan para
kemenakan beliau (putra-putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan) lalu
meneruskan penugrahan yang diterima dari para putra-putri Sanghyang
Pasupati, yaitu Ide Bethara Mahadewa yang berstana di Tolangkir dan adik
beliau Ide Bethari Dewi Danu yang berstana di Danau Batur sebagai berikut:
Apabila diantara kalian atau keturunanmu di kemudian hari ada yang
mampu Madwijati, diperkenankan pada upacara pelebon menggunakan
padma trawang, pisang gedang kaikik, gamet (kapas), kesumba, serta
bertingkat 5 (nista), 7 dan 9 (madia), dan 11 (utama).
Itu adalah demi kesejahteraanmu. Jika mayat kalian dibakar, cuntake hanya
3 (tiga) malam; jika ditanam 7 (tujuh) malam; Jika mayat kalian dibakar,
harus dilakukan upacara ngeleb awu ke segara/sungai disertai upacara
ngirim; jika dilalaikan, mudah-mudahan kamu menjadi manusia yang
derajatnya paling rendah karena tidak membela kewangsaan serta tidak
mengenal kawitan.
Selanjutnya Dalem Ketut bersabda: "Kalian kemenakanku, walaupun kalian
telah disurud-wangsakan, namun kalian masih aku anugerahi hak-hak
sebagai berikut: seketurunan kalian tidak kena
kewajiban-kewajiban/pungutan (pajak), tidak kena pejah pajungan (hukuman
mati), tidak kena cecangkriman (pembuangan), tidak kena ambungan
(hukuman cambuk), tidak kena sasarandana (pungutan adat), tidak kena
pepanjingan (larangan masuk ke suatu wilayah), tidak kena pecatuan (iuran
di Pura), tidak kena perintah. Para penguasa di daerah, yaitu Manca dan
Punggawa diberitahu semua penugrahan Ide Bethara Dalem Ketut tersebut
untuk ditaati dan diindahkan, ditambah lagi penekanan agar mereka
senantiasa menghormati para kemenakan beliau seketurunan. Apabila ada
yang berani menentang atau tidak melaksanakan, mudah-mudahan hilang
kesaktiannya dan luntur kewibawaannya.
Beberapa waktu kemudian Ide Dalem Ketut memberikan tambahan
wejangan setelah mendapat wahyu dari Ide Bethara Brahma: "Jika kalian
dan keturunanmu meninggal, kalian harus memohon melalui Sangkulputih
tirta Yeh-Tunggang dari Gunung Agung sebagai tirta pengentas. Oleh
karena itu kawitan serta semua arwah leluhurmu berstana di Gunung Agung
(Tolangkir) sehingga kamu wajib berbakti kepada kawitan dan arwah
leluhurmu di Pedarmaan Besakih.
Bila ada keturunanmu yang sudah mebersih wenang naik-turun di
pelinggih-pelinggih di Tolangkir dalam upacara yadnya. Bila ada
keturunanmu yang mampu Madwijati/Madiksa, wenang mengajarkan ilmu,
sastra, dan kedharmaan kepada saudara-saudaranya sehingga menjadi
orang-orang yang terhormat serta diikuti petunjuk-petunjuknya oleh orang
lain. Jika semuanya kalian taati dan laksanakan dengan kokoh dan tekun,
mudah-mudahan kalian dapat mencapai moksah.Selain memberikan
penugrahan di bidang agama dan kedharmaan, Ide Dalem Ketut juga
memberikan "Mantri sesana", yaitu tata susila sebagai pejabat yang
bertugas dan berkedudukan sebagai berikut : I Gusti Gede Sekar sebagai

Manca di Nongan diberikan tanah kebun 15 sikut disertai Ibunda beliau Ni
Gusti Luh Puaji. I Gusti Gede Pulasari kembali ke Pulasari sebagai Dukuh
menguasai pedukuhan Pulasari (Bunga), Tampuwagan, Peninjoan,
Karang-suwung, dan Manikaji. I Gusti Gede Bandem diberi kedudukan
sebagai Manca di Nagasari, meliputi: Tihingan, Kayuputih, Uma-anyar, dan
Bangkang. I Gusti Gede Belayu diangkat sebagai Manca di Ogang, meliputi:
Semseman, Mijil, Sanggem, Sangkan Gunung, Pakel, dan Sangkungan. I
Gusti Gede Balangan tetap tinggal di istana Gelgel. I Gusti Gede Dangin
kembali ke Sudaji.
Kecuali I Gusti Gede Dangin, semua putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan
diberikan pamancanggah yang memuat penugrahan tersebut di atas
ditambah dengan gambar rerajahan rurub kajang dan rerajahan daun pisang
Kaikik selengkapnya. Pamancanggah itu disahkan dan diumumkan oleh Ide
Dalem Ketut pada Hari Kamis, Umanis, wuku Ukir, panglong ping 13
(telulas) sasih Kapat, Isaka 1339 (1417 M). Pamancanggah itu
diupacarai/dipasupati sebagaimana mestinya. Sesampainya di tempat
kedudukan masing-masing, para putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan
menempatkannya di pelinggih pemerajan dan dipuja oleh seketurunan
beliau-beliau. Bila ada yang mengabaikan kewajiban memuja dan mentaati
pamancanggah itu mudah-mudahan dikutuk oleh Ide Bethara Kawitan.
Silsilah Ide Bethara Dalem Tarukan.
Sanghyang Pasupati berputra :
1. Bhatara Hyang Gnijaya
2. Bhatara Hyang Putranjaya
3. Bhatari Dewi Danuh
4. Bhatara Hyang Tugu
5. Bhatara Hyang Manikgalang
6. Bhatara Hyang Manikgumawang
7. Bhatara Hyang Tumuwuh
Bhatara Hyang Gnijaya berputra Mpu Withadharma (Sri Mahadewa)
Mpu Withadharma berputra :
1. Mpu Bhajrasattwa (Mpu Wiradharma)
2. Mpu Dwijendra (Mpu Rajakretha)
Mpu Bhajrasattwa berputra : Mpu Tanuhun (Mpu Lampita)
Mpu Tanuhun berputra :
1. Mpu Gnijaya
2. Mpu Sumeru (Mpu Mahameru)
3. Mpu Ghana
4. Mpu Kuturan (Mpu Rajakretha)
5. Mpu Bharadah (Mpu Pradah)
Mpu Bharadah berputra :
Page 24 of 28 .
1. Mpu Siwagandu
2. Ni Dyah Widawati
3. Mpu Bahula
Mpu Bahula berputra :
1. Mpu Tantular (Mpu Wiranatha)
2. Ni Dewi Dwararika
3. Ni Dewi Adnyani
4. Ni Dewi Amerthajiwa
5. Ni Dewi Amerthamanggali
Mpu Tantular berputra :
1. Danghyang Kepakisan
2. Danghyang Smaranatha
3. Danghyang Sidhimantra
4. Danghyang Panawasikan
Danghyang Kepakisan berputra : Sri Soma Kepakisan
Sri Soma Kepakisan berputra :
1. Sri Juru (Dalem Blambangan)
2. Sri Bhima Sakti (Dalem Pasuruan)
3. Sri Kepakisan (Dalem Sumbawa)
4. Sri Kresna Kepakisan (Dalem Bali)
Sri Kresna Kepakisan berputra :
1. Dalem Samprangan
2. Dalem Tarukan
3. Dewa Ayu Wana
4. Dalem Sri Smara Kepakisan
5. Dewa Tegal Besung
Mpu Tanuhun (Mpu Lampita) berputra lima, yaitu Mpu Gnijaya, Mpu
Sumeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah. Kelimanya disebut
Panca Tirta. Mpu Gnijaya menurunkan Sapta Rsi, yaitu: Mpu Ketek, Mpu
Kananda, Mpu Wiradnyana, Mpu Withadharma, Mpu Ragarunting, Mpu
Preteka, dan Mpu Dangka. Beliau bertujuh selanjutnya, lama-kelamaan
menurunkan Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi. Saudara bungsu Mpu
Gnijaya yaitu Mpu Bharadah lama-kelamaan menurunkan Para Gotra
Sentana Dalem Tarukan atau dikenal sebagai warga Pulasari.
Adanya tali kekeluargaan seperti itulah yang disadari oleh warga Pasek di
pegunungan di saat beliau-beliau membantu dan menyelamatkan Ide
Bethara Dalem Tarukan di pengungsian sebagaimana telah diuraikan di
muka. Patutlah warga Pulasari berhutang budi kepada warga Pasek.
Kesadaran ini pula yang mungkin mendasari ide pembangunan Pura Pusat
Pulasari berdampingan dengan Pura Pasek.
Di Gelgel, semasa pemerintahan Ide Bethara Dalem Semara Kepakisan
dibangun pula Pura Dasar Bhuwana yang disungsung oleh warga keturunan
Ide Bethara Dalem Sri Kresna Kepakisan, Ide Bethara Mpu Gnijaya (Pasek

Sanak Sapta Rsi), dan keturunan Ide Bethara Mpu Saguna (Maha Smaya
Warga Pande). Lama-kelamaan, disungsung pula oleh seluruh rakyat Bali,
mengingat di Pura Dasar Bhuwana distanakan Raja (Dalem) pertama di Bali.
"Kepakisan" asal katanya "Pakis" berarti Paku. Gelar Kepakisan diberikan
kepada Brahmana yang ditugasi sebagai Raja (Dalem) atau Kesatria. Gelar
Kepakisan yang diberikan kepada Kesatria adalah: Sira-Arya Kepakisan.
Beliau adalah keturunan Sri Jayasabha, berasal dari keturunan Maha Raja
Airlangga, Raja Kahuripan (Jawa). Gelar "Paku" di Jawa pertama kali
digunakan oleh Susuhunan Kartasura: Paku Buwono I pada tahun 1706 M.
Di Bali gelar "Pasek" yang berasal dari perkataan "Pacek"(= paku) pertama
kali digunakan oleh Arya Kepasekan, yaitu putra Mpu Ketek yang termasuk
kelompok Sapta Rsi. Ada juga warga Pasek yang di luar kelompok Sapta
Rsi, yaitu keturunan dari Mpu Sumeru yang berputra Mpu Kamareka,
selanjutnya menurunkan warga Pasek Kayu Selem, Pasek Celagi, Pasek
Tarunyan, dan Pasek Kayuan. Beliau-beliau juga sangat besar jasanya
menyelamatkan Ide Bethara Dalem Tarukan.
Kesimpulannya bahwa gelar: Kepakisan, Paku, Pasek bermakna dan
berderajat sama yaitu sebagai fungsi kekuasaan atau pemimpin di suatu
wilayah tertentu atau pemimpin suatu penugasan/jabatan tertentu yang
didelegasikan oleh Dalem (Kaisar = Maha Raja, atau Raja)
Bisama Ide Bhatara Dalem Tarukan.
Yang dimaksud dengan Bisama Ide Bhathara Dalem Tarukan adalah pesan
beliau yang bersifat sakral ditujukan kepada semua keturunan beliau
menyangkut tentang hak, kewajiban, larangan, dan keharusan dalam
penyelenggaraan kehidupan, hal mana bila dilanggar dipercaya akan
mendapat kutukan dan akan mendatangkan bencana.Dari riwayat beliau
dicatat Bisama-Bisama sebagai berikut : 1. Tidak merabas pohon atau
memakan buah: Jawa, Jali.
2. Tidak mengurung, membunuh, atau memakan daging burung Puyuh dan
Perkutut.
3. Tidak memakan beras mentah.
4. Mayat yang dikubur atau dibakar kepalanya di arah Barat.
5. Tidak memelihara dan memakan daging Manjangan.
6. Tidak menerima sebutan/ucapan: "cai" dan "cokor I Dewa"
7. Boleh menerima sebutan/ucapan: "Jero", "Ratu", "Gusti"
8. Upacara pelebon boleh menggunakan: • Sebagaimana
layaknya seorang Raja.
• Pemereman Padma Terawang
• Pemereman Bade Tumpang Pitu
• Benusa
• Tumpang salu dari bambu “ampel” kuning
• Ulon

• Jempana
• Rurub Kajang Pulasari
• Daun Pisang Kaikik
• Bale Gumi berundak tujuh
• Bale Silunglung
• Damar kurung
• Upacara ngaskara lengkap 9. Tidak membuang atau
menyia-nyiakan makanan, minuman, dan uang.
Penugrahan
Yang dimaksud dengan penugrahan adalah wewenang, kedudukan dalam
jabatan Pemerintahan Kerajaan, ijin menggunakan atribut pada saat
upacara Manusia yadnya, Resi yadnya, dan Pitra yadnya yang diberikan
oleh Dalem atau Pejabat yang berkuasa pada saat penugrahan itu diberikan
kepada warga Pulasari. Penugrahan juga melingkup tata kehidupan lainnya,
seperti hubungan persaudaraan, hubungan sosial, keharusan mentaati
ketentuan-ketentuan adat dan agama, dan lain-lain.
Penugrahan pertama yang tercatat dalam Babad Pulasari adalah
penugrahan yang dikeluarkan oleh Ide Bethara Dalem Sri Semara
Kepakisan.
Dalam perkembangan sejarah, penugrahan itu ada yang diubah, ditambah,
dan dikurangi sesuai dengan politik pemerintah/kerajaan atau penguasa
setempat di pemukiman warga Pulasari.
Dari Babad Pulasari dicatat penugrahan Ide Bethara Dalem Sri Semara
Kepakisan sebagai berikut :01. Warga Pulasari telah "kesurud wangsa"-kan
menjadi Wesia Dalem sehingga diminta untuk tidak
“memada-mada” Dalem.
02. Namun demikian dalam upacara pelebon dibolehkan menggunakan tata
cara seorang Raja.
03. Cuntaka kematian : Bila dibakar, 3 malam; bila ditanam, 7 malam
04. Selalu berbakti di Pura-pura Kahyangan Jagat Bali
05. Selalu bakti dan ingat pada Pedanda dan orang-orang suci.
06. Jangan melakukan hubungan suami-istri di luar perkawinan (berzina)
07. Bila mampu dapat mempelajari kemoksaan sehingga menjadi seorang
Dwijati dengan gelar Bhagawan, karena warga Pulasari (Pagosedata) masih
berdarah Brahmana; karena itu wajib pula berbakti di Pedarmaan Brahmana
di Besakih serta pelinggih Ide Bethara Hyaang Gnijaya di Tolangkir dan di
Lempuyang, pelinggih I Ratu Pande dan I Ratu Gede Penyarikan di Besakih.
08. Semua warga Pulasari satu sama lain harus tetap mengaku bersaudara,
paling tidak mengaku memisan atau memindon.
09. Pedoman upacara pelebon: bagi Sulinggih: pemereman padma trawang
bertingkat : 5,7,9, atau 11, daun pisang Kaikik, gamet, kesumba.
10. Jika mayat dibakar (bakar biasa atau pelebon) wajib melaksanakan
upacara ngeleb awu ke sungai atau laut.
Page 27 of 28 .
11. Dibebaskan dari: pajak, pejah panjungan, cecangkriman, ambungan
lalang, sasasrandana, pepanjingan, pecatuan dan perintah. Para Manca dan
Punggawa agar mentaati ketentuan ini.
12. Pada upacara kematian agar meminta tirta pengentas "Yeh-Tunggang"
dari Tolangkir melalui Ki Pemangku.
13. Jabatan yang diberikan: Gusti Gede Sekar sebagai Manca di Nongan,
Gusti Gede Pulasari sebagai Dukuh di Pulasari, Gusti Gede Bandem
sebagai Manca di Nagasari, dan Gusti Gede Belayu sebagai Manca di
Ogang.
14. Kepada para putra yang menduduki jabatan-jabatan tersebut diminta
untuk:
1. Melaksanakan ajaran agama dengan sebaik-baiknya.
2. Memahami ketentuan-ketentuan catur warna
3. Memahami dan melaksanakan asta beratha
4. Menghormati dan menjaga kesucian Pura-Pura Sad Kahyangan
5. Meningkatkan pengetahuan
6. Menghormati dan menjunjung Pemerintah
7. Menghormati dan menjunjung para Pendeta
8. Tidak melakukan perkawinan yang dilarang yaitu mengawini perempuan
yang tidak patut dikawini: saudara sebapak / seibu / sekandung, anak guru,
wanita yang lebih tua, saudara Bapak / Ibu, anak Paman/Bibi, wanita yang
mempunyai suami, wanita yang statusnya lebih tinggi.
----------@---------
Daftar Pustaka :
1. Babad Pulasari, Gedong Kirtiya, Singaraja
2. Babad Pulasari, Puri Agung Klungkung
3. Babad Pulasari, Kantor Dokumentasi Budaya Bali, Prop. Bali, 1998
4. Babad Dalem, Drs. I.B.Rai Putra, Upada Sastra, Denpasar, 1991
5. Babad Pasek, I Gusti Bagus Sugriwa, Pustaka Balimas, Denpasar, 1957
6. Babad Arya Kutawaringin, Drs. I.B.Rai Putra, Upada Sastra, Denpasar,
1991
7. Babad Bali Agung, Seri KGP Bendesa Manik Mas, Rsi Bintang Dhanu
Manik Mas dan I N Djoni Gingsir, Yayasan Diah Tantri, Jakarta, 1996